BERITABONTANGNASIONAL

Simsalabim, Air Minum Bekas Tambang

Bekas lubang tambang PT Indominco Mandiri yang akan dijadikan sumber air baku. (istimewa)

MARETA SARI seketika terkejut dan heran mendengar kabar dari rekannya, dosen Universitas Mulawarman yang berdomisili di Bontang, Kalimantan Timur. Dia diberitahu bahwa Pemkot Bontang berencana memanfaatkan air di bekas lubang galian tambang (void) PT Indominco Mandiri (IMM) sebagai sumber air baku warga.

Keheranan perempuan yang akrab disapa Eta ini beralasan. Bila rencana tersebut benar-benar direalisasikan dapat menjadi preseden buruk. Perusahaan lain bisa seenaknya meninggalkan lubang-lubang menganga jika aktivitas ekstraktif mereka selesai.

Selain itu, terdapat kajian membuktikan bahwa air yang tergenang di lubang tambang mengandung banyak zat berbahaya, seperti logam berat. Artinya, menggunakan dan mengonsumsi air tersebut, tak ubahnya seperti mencekoki warga dengan racun. Ujungnya, kesehatan warga tergadaikan. Dengan berbagai efek negatif itu, ia tak habis pikir mengapa usulan berbahaya itu bisa sampai mengemuka.

“Waduh, ini berbahaya sekali,” kata perempuan yang juga Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim ini ketika berbincang dengan tim Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Bontang awal Agustus 2023 ini.


Rencana pemanfaatan air bekas lubang tambang ini mulai menyeruak saat Indominco mengusulkan dalam rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Bontang pada 2019 di Jakarta. Usulan yang dapat menghilangkan tanggung jawab perusahaan untuk memulihkan kerusakan lingkungan itu diterima Pemkot Bontang.

Setelah meninjau lokasi, pemkot melalui Perumda Tirta Taman menunjuk tim riset air. PDAM menggandeng Politeknik Negeri Samarinda (Polnes). Sedangkan Indominco bekerja sama dengan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Ditunjuknya dua perguruan tinggi itu karena dianggap independen.

Hasil riset dua kampus tersebut menyatakan air di lubang tambang dinyatakan baik dan laik konsumsi. Dari 10 yang ditawarkan, dua lubang tambang di pit L11N1 dan pit LI13W1 dinyatakan baik.

Diketahui, Indominco merupakan satu dari delapan anak usaha Grup Indotambangraya Megah. Berdiri sejak 11 November 1998, perusahaan ini memegang Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan konsesi seluas 24.121 hektar. Wilayah konsesi mereka beririsan di tiga wilayah Kalimantan Timur: Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Bontang, dan Kabupaten Kutai Timur.

Pada 2018, pengadilan pernah memutuskan Indominco bersalah dan wajib membayar denda sebesar Rp 3 miliar kepada Negara. Hukuman ini dijatuhkan lantaran tanpa seizin Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mereka terbukti menimbun dan menyimpan limbah B3 yakni Fly Ash dan Bottom Ash. Limbah berbahaya itu adalah hasil operasional PLTU Indominco.

Dalam laporan Jatam Kaltim berjudul Membunuh Sungai disebutkan, perusahaan ini diduga kuat berperan terhadap pencemaran di Sungai Santan. Limbah tailing yang mereka buang menyebabkan punahnya biota asli Sungai Santan seperti kerang kepah dan ikan biawan.

Ambisi Pemkot Bontang

Pemkot Bontang, DPRD, hingga Perumda Tirta Taman terlihat cukup getol dan kompak mendukung realisasi rencana ini. Maret 2021, Polnes merilis hasil kajiannya terkait air di dua void Indominco. Mereka menyebut air laik digunakan, bahkan masuk kategori B alias layak untuk bahan baku air minum.

Sebulan setelahnya, Pemkot Bontang membentuk Tim Percepatan Pemenuhan Air Bersih untuk mengawal realisasi pemanfaatan void Indominco. Dalam Surat Keputusan Wali Kota Nomor: 188.45/240/DPUPR/2021, anggota tim di antaranya Dinas Lingkungan Hidup (DLH); Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan; Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; dan Perumda Tirta Taman.

Rencana itu bukan tanpa penolakan. Sejumlah Masyarakat yang tergabung dalam Warga Bontang Bergerak (WBB) melakukan aksi unjuk rasa di jembatan hauling Indominco, jalan poros Bontang–Samarinda, Desa Suka Rahmat, Kutai Timur, pada Desember 2021. Aksi itu bersamaan dengan kedatangan Gubernur Kaltim Isran Noor untuk meninjau void.

Koordinator aksi, Fajri Sunaryo, tegas menyatakan penolakannya terhadap rencana ini. Selain berbahaya bagi kesehatan, menurutnya pemerintah belum mencari langkah-langkah lebih luas terkait ancaman krisis air.

“Kalau seperti air seperti itu dikonsumsi, jelas sangat berbahaya,” kata Fajri kala itu dalam orasinya.

Persoalan krisis air di Bontang, sebutnya, salah satunya karena ekosistem di bagian hulu sudah rusak akibat aktivitas tambang. Dan akhirnya mengurangi debit dan juga volume air yang ada di dalam tanah.

Aktivitas tambang juga menyebabkan Bontang kebanjiran. Pengupasan lahan yang terjadi akibat pertambangan di hulu menyebabkan kawasan resapan air hilang. Padahal, Kawasan hutan seharusnya menjadi pertahanan Bontang.

“Ini kemunduran cara berfikir. langkah kebijakan yang ditawarkan sangat tidak solutif. Di hulu mereka berdansa, di hilir kita menderita. Bayangkan, mereka merusak yang sudah ada. Lalu menawarkan solusi yang rentan dan berbahaya,” tegasnya.

Penolakan itu kontras dengan langkah Pemkot Bontang, DPRD Bontang, dan Perumda Tirta Taman yang sangat getol untuk merealisasikan rencana tersebut. Perumda Tirta Taman bahkan mengurus berbagai perizinan pemanfaatan void. Termasuk izin lingkungan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.

Perubahan izin pemanfaatan itu sejatinya tanggung jawab Indominco. Selain karena pemilik konsesi, Indominco juga yang melakukan permohonan izin pemanfaatan lahan ketika ingin menambang pada 1997.
Akan tetapi, Suramin berdalih pihaknya mesti jemput bola agar semua bisa lebih cepat diurus. Dia pun menilai kebutuhan air baku masyarakat semakin mendesak sehingga pihaknya tidak bisa menunggu terlalu lama.

“Rencana bulan ini (Juni) kami mau ke Jakarta urus. Biar cepat,” akunya

Peneliti Senior Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengkritik sikap pemerintah yang begitu berambisi memanfaatkan void Indominco. Ia mempertanyakan pemerintah yang harus turun tangan.

“Kenapa ngotot sekali? Kenapa prioritaskan lubang tambangnya Indominco bukannya mencari sumber alternatif lain?” ujar Rupang, Jumat (18/8/2023) malam.

Dia mengatakan, mestinya pemerintah berupaya mencari dan memaksimalkan sumber alternatif lain. Semisal mendorong pemanfaatan Bendungan Marangkayu yang sejak awal memang diproyeksikan untuk sumber air baku warga.

Bila pemerintah terlihat begitu kukuh, Rupang menduga ada kongkalikong di balik pemanfaatan void. Boleh jadi pemerintah daerah memang diarahkan untuk menjadi pihak yang memuluskan rencana ini. Sebab pengajuan dan perubahan perizinan yang dilakukan government to government berpotensi lebih mulus dan cepat selesai ketimbang private to government.

“Patut diduga ini upaya untuk memutihkan dosa melakukan pemulihan kawasan yang harusnya jadi tanggung jawab Indominco,” tegasnya.

Menurut mantan dinamisator Jatam Kaltim itu, bila pemkot berupaya menghindari Bontang dari potensi krisis air, mestinya mereka menuntut tanggung jawab perusahaan untuk memulihkan lingkungan. Bukannya justru mendorong pemanfaatan void. Rencana ini justru meninggalkan kerugian berlipat. Baik dari sisi lingkungan, materil dan kesehatan.

Areal konsesi tambang Indominco di hulu Bontang, dalam kalkulasi Jatam, hanya sekitar 10 kilometer dari kota. Mestinya kawasan yang sudah dikupas itu dipulihkan kembali agar bisa menjadi benteng pertahanan kota ketika hujan tiba. Dengan tidak dilakukan reklamasi dan penghijauan kembali, maka serapan air hujan tidak maksimal. Ini kemudian mengakibatkan Bontang yang punya sebutan Kota Taman, tapi ironisnya malah langganan banjir.

“Akibatnya kerugian berlipat. Pertama, kerugian dari sisi lingkungannya karena daya dukung lingkungan melemah. Kemudian hadir kerugian kedua, secara ekonomis atau materil,” bebernya.

Lantaran sering dilanda banjir, pemerintah, dari level kota hingga pusat kemudian dirugikan lantaran harus menganggarkan dana tak sedikit untuk penanggulangan banjir Bontang. Riset Jatam pada 2020 menyebut, salah satu penyebab utama banjir Bontang adalah aktivitas ekstraktif Indominco di hulu. Pemkot pun mengakui itu, bahwa banjir yang terjadi di kota berpenduduk 185 ribu jiwa ini adalah kiriman dari hulu.

“Sudah banyak APBD atau APBN dikeluarkan untuk penanggulangan banjir. Belum lagi warga ikut menanggung kerugian materil. Rumahnya rusak, perabotan rusak, dan kerugian lain karena banjir,” cecarnya.

“Nanti warga disuruh minum air void yang beracun. Ini membahayakan kesehatan. Harusnya yang didorong pemerintah itu bukan pemanfaatan void yang kerugiannya bisa ditakar, tapi mendorong opsi lain yang lebih aman.” sebutnya.

Sementara itu, Wali Kota Bontang Basri Rase mengklaim, pemanfaatan void jauh lebih cepat dan efektif ketimbang harus menunggu SPAM Regional Kaltim dari Bendungan Marangkayu.
Politikus PKB itu bilang, rencana pemanfaatan void menunggu restu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan Pemkot Bontang melalui APBD Perubahan 2023 berencana melakukan appraisal pembebasan lahan untuk pembangunan Unit Pengolahan air baku yang bersumber dari void.

“Target 2024 pembebasan lahan untuk Unit Pengolahan sudah beres,” ucap Basri.

Bahaya Air di Bekas Galian Tambang Batu Bara

Berbagai hasil kajian membuktikan air di void berbahaya dan tidak disarankan dimanfaatkan apalagi untuk konsumsi. Kondisi air di void yang kadang terlihat jernih, bahkan beberapa kali terlihat ikan hidup di dalamnya kerap dianggap sebagai penanda bahwa air itu layak dimanfaatkan.

Namun, kajian membuktikan sebaliknya. Tingginya kandungan logam berat seperti mangan (Mn) dan besi (Fe), hingga tingkat keasaman (pH) air yang rendah, justru menunjukkan air berbahaya bagi kesehatan bila dikonsumsi.

Misalnya dalam hasil riset dilakukan Jatam pada 2017. Ketika itu Jatam mengambil 17 sampel air dari delapan situs tambang batu bara di Kalimantan Timur beserta jalur-jalur air di sekelilingnya. Seluruh sampel air tersebut diambil menggunakan US EPA Method 1669.
Sampel dianalisis di laboratorium bersertifikasi di Indonesia dan di tes untuk logam berat menggunakan ICPMS (Inductively Coupled Plasma Mass Spectrometry). Hasilnya, 15 dari 17 sampel yang dites mengandung konsentrasi aluminium, besi, mangan dan/atau pH yang kemungkinan besar berdaya rusak terhadap pertanian dan peternakan ikan.

Dalam riset yang berjudul Hungry Coal itu disebutkan, toksisitas aluminium dihubungkan dengan berbagai penyakit saraf seperti penyakit parkinson, amyotrophic lateral sclerosis dan penyakit alzheimer. Konsentrasi aluminium dalam air yang tinggi, terutama dalam air ber-pH rendah, dapat mengakibatkan akumulasi dalam organ-organ ikan sehingga menyebabkan gangguan sistem saraf, serta mengurangi sel lendir.

Pada 2020, Jatam kembali menerbitkan hasil riset terbaru. Kali ini mereka memfokuskan kajian di sekitar areal tambang batu bara milik Indominco. Investigasi lapangan dan pengambilan sampel uji kualitas air dilakukan di kawasan Sungai Palakan. Sungai Palakan merupakan salah satu bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Santan yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Kutai Timur. DAS Palakan dilintasi wilayah kerja pertambangan batu bara milik Indominco di blok timur.

Berdasarkan temuan Jatam, Indominco diketahui telah melakukan pembuangan air dari settling pond limbah penambangan batu bara yang disalurkan ke badan Sungai Palakan. Settling pond merupakan kolam endapan sebelum air dari void dilepas ke lingkungan.
Jadi, di sekitar void, termasuk di void pit LN11N1 terdapat sejumlah settling pond yang ukurannya beragam. Air dari void dialirkan ke settling pond. Di sana air diendapkan, diberi kapur, kemudian dilepas ke lingkungan. Pemberian kapur itu bertujuan untuk menjernihkan dan menetralkan tingkat keasaman (pH) air.

Pengambilan sampel air dilakukan di tiga titik lokasi. Titik pertama yaitu aliran settling pond atau air limbah titik koordinat 117°19’56.683”E 0° 6’3.222”N. Titik kedua dilakukan di badan Sungai Palakan titik koordinat 117°19’31.343”E 0° 5’4.646”N. Titik ketiga di muara Sungai Palakan titik koordinat 117°19’17.”E 699 0° 2’37.838”N, waktu pengambilan sampel air dilakukan pada hari Minggu tanggal 19 Juli 2020 dalam kondisi cuaca cerah.

Sampel tersebut kemudian dibawa ke Laboratorium Kesehatan, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk diuji. Dari 26 parameter, ditemukan 3 parameter hasil uji melebihi ambang baku mutu untuk air limbah batu bara yang diatur dan dibatasi ketat oleh Peraturan Daerah Kalimantan Timur 02/2018 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Tiga parameter yang dilampaui tersebut adalah tingkat keasaman (pH) mencapai 2,57 yang berarti sangat asam, kandungan logam berat besi (Fe) yang mencapai empat setengah kali lipat dari ambang baku mutu. Begitu juga dengan kandungan logam berat Mangan (Mn) yang capai empat setengah kali lipat dari baku mutu.

Peneliti Jatam Kaltim, Teresia Jari, menyebut dua temuan tersebut bisa menjadi gambaran betapa berbahayanya jika rencana pemanfaatan air di bekas lubang tambang Indominco direalisasikan. Khususnya bagi kesehatan warga.

“Dampaknya memang tidak terasa sekarang. Tapi nanti setelah beberapa tahun setelah air itu dikonsumsi,” kata Tere, ditemui awal Agustus 2023.

Dalam melakukan analisis terhadap kandungan air di lubang bekas galian tambang Indominco, ada 5 parameter menjadi perhatian Politeknik Negeri Samarinda yang merupakan lembaga pilihan Perumda Tirta Taman. Acuan mereka untuk mengecek kelayakan air ialah Peraturan Daerah (Perda) Kaltim 2/2011 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Ada 4 parameter uji di dalamnya. Yakni, padatan tersuspensi total (TSS), besi total (Fe), mangan total (Mn), dan derajat keasaman (pH).

Yang menjadi soal, kata Tere, ada banyak indikator guna menguji kualitas air. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 22/2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan, setidaknya ada 49 parameter uji.

Minimnya parameter uji di Perda Kaltim tentang pengolahan air dinilai terlalu lemah dan menjadi celah bagi perusahaan meloloskan air void mereka di laboratorium uji. Sehingga, air yang sebenarnya berbahaya, bisa saja dengan mudah lolos dan dinyatakan layak lantaran parameter uji terlalu lemah.

“Untuk tes air kan parameternya banyak. Sementara dalam perda ini cuma sedikit, padahal parameter lain juga penting,” katanya. “Oke airnya jernih, tidak asam, tapi kandungan lain tidak dites. Itu membahayakan.”

Negara Merugi, Kontribusi Indominco Dipertanyakan

Akan ada kerugian berlapis timbul dari pemanfaatan void sebagai bahan baku air Perumda Tirta Taman. Kerugian itu bukan saja ditanggung negara. Namun oleh warga Bontang yang akan menjadi sasaran utama dari rencana ini.

Misalnya dari sisi kerugian lingkungan akibat tidak melakukan reklamasi. Hingga 2018, Jatam Kaltim mencatat total ada 1.735 lubang tambang di Bumi Etam. Memasuki 2023, jumlahnya diperkirakan naik menjadi 2.000 lubang. Paling banyak tersebar di Kutai Kartanegara (Kukar), disusul Samarinda, kemudian Kutai Timur (Kutim).

Di Bontang, hanya ada Indominco. Namun wilayah pertambangan mereka masuk di wilayah Kutim dan Kukar. Hingga berakhirnya izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Indomico pada 2028, akan ada 53 lubang tambang dengan luas 2.823,73 hektare. Itu 32 kali lebih besar dari luas kompleks stadion dan gedung olahraga Palaran di Samarinda.

Hitungan sederhana yang dilakukan Wahyu Widhi, yang menjabat kepala Dinas ESDM Kaltim pada 2019, biaya reklamasi per 1 hektare setara dengan USD12.500. “Saya ikut dalam paparan itu. Angka USD12.500 itu sebenarnya angka paling rendah yang dipatok (Dinas) ESDM,” beber Rupang.

Bila dikonversi ke rupiah saat ini, diperkirakan uang jaminan reklamasi yang lepas dari perusahaan mencapai Rp19 miliar lebih. Pertanyaan pun muncul mengenai implikasi dari uang jaminan reklamasi sebesar itu.
Belum lagi bila rencana ini benar diseriusi, setidaknya dibutuhkan anggaran sekitar Rp 450 miliar. Yang seluruhnya ditanggung pemerintah provinsi dan daerah.

Rinciannya, Rp 200 miliar diperuntukkan untuk pembangunan intake atau bangunan untuk pengambilan air di dua void dan Sungai Mayang. Ini juga termasuk pembangunan jaringan pipa transmisi dari intake ke IPA SPAM regional. Sisanya, Rp 250 miliar untuk pembangunan IPA dan jaringan pipanisasi ke daerah penerima air, dalam hal ini Bontang dan Kutim.

Indominco diminta ikut mendanai intake dan jaringan transmisi melalui dana CSR. Fungsional Ahli Penyehatan Lingkungan Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Kaltim Rizki Sya’bani bilang, secara prinsip perusahaan mengaku mau ikut berkontribusi.

Namun bentuk kontribusi itu belum ada kepastian. Saat ini pun perusahaan masih mengkaji ulang desain intake dan jaringan pipa transmisi yang ditawarkan pemprov. Indominco masih menimbang design atau pilihan lain yang lebih murah.

“Siapa tahu ada yang lebih efektif secara pendanaan. Makanya mereka mau evaluasi itu dulu,” katanya ditemui di Samarinda belum lama ini.

Dikonfirmasi terpisah, Head External Relation IMM Hasto Pranowo mengatakan, proyek ini sudah ditangani langsung pemerintah, dalam hal ini pemprov melalui Dinas PUPR Kaltim. Indominco hanya berupaya mendukung realisasinya. Terlebih, menurut Indominco, pemanfaatan ini terkait dengan hajat hidup masyarakat dalam hal pemenuhan air bersih.

“Bagaimana nanti, kami support saja seperti apa. Ini memang mau dimanfaatkan untuk khalayak ramai, orang banyak,” katanya dihubungi awal Agustus 2023.

Ketika ditanya bentuk konkret dukungan Indominco, Hasto belum bisa menjawab. Yang pasti, sebutnya, perusahaan akan mengikuti seluruh arahan Pemprov Kaltim dan mengupayakan agar rencana ini terealisasi. “Kami ikut arahan dari pemerintah provinsi,” katanya.

Terkait isu reklamasi, Hasto mengatakan perusahaan tidak akan lari dari tanggung jawab. Ia bahkan mengklaim, Indominco tidak punya masalah terkait dengan reklamasi, dan akan melakukannya sebab itu bagian dari tanggung jawab. Bila kelak kedua void itu akan dimanfaatkan sebagai sumber air baku, Hasto mengklaim perusahaan tidak akan serta merta meninggalkan. Reklamasi bekas lubang tambang, termasuk dua void di pit LN11N1 dan L13W1 tetap dijalankan.

“Iya, termasuk dua itu. Indominco tetap akan lakukan sebagaimana tanggung jawab indominco terhadap negara,” ujarnya.

Dikritik Berbagai Pihak

Dinamisator Jatam Kaltim, Mareta Sari mengatakan, tindakan IMM dengan membiarkan lubang tambang menganga, lantas menawarkannya sebagai sumber air baku warga merupakan bentuk pelanggaran berlapis. Ia bukan saja melanggar hak asasi manusia, pun terjadi pelanggaran lingkungan.

“Ini memberi jalan baru (untuk lari dari tanggung jawab) karena mereka (perusahaan tambang) akan mempunyai contoh dan bisa ditiru. Artinya, kita dihantui masalah baru,” beber perempuan yang akrab disapa Eta ini.

Lebih jauh dia menjelaskan, lubang tambang yang dibiarkan menganga akan menghadirkan persoalan baru. Pertama, ia membahayakan nyawa, terutama bagi anak-anak. Hingga Agustus 2023 ini, tercatat sudah ada 45 orang meregang nyawa di lubang tambang seantero Kaltim. Teranyar, korbannya adalah bocah 11 tahun di Kukar. Ia meregang nyawa di Danau Danurdana. Danau itu merupakan bekas galian tambang batu bara yang tiba-tiba “disulap” jadi kawasan wisata.

Kedua, bila air di lubang tambang itu benar-benar dikonsumsi, ini tak ubahnya seperti mencekoki warga dengan racun. Banyak studi yang membuktikan air di bekas lubang tambang sangat berbahaya bagi kesehatan. Salah satunya dibuktikan dalam hasil riset teranyar Jatam Kaltim yang diterbitkan 2020 lalu.

“Kalau mau direalisasikan, buka dong dokumennya, jangan ditutup-tutupi. Biarkan masyarakat yang menilai karena mereka yang akan jadi sasaran rencana ini,” tegasnya

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Agustina Wati mengatakan, berangkat dari Konsep Hak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 H ayat (1), disebutkan bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hak terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan amanat UUD 1945 yang juga diatur dalam Pasal 65 ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

“Berdasarkan hal ini maka pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru menggunakan air bekas void perusahaan sebagai air baku, karena perlu dipastikan dalam Amdal perusahaan terkait reklamasi. Juga memastikan bahwa kualitas air bekas void sesuai dengan kualitas air baku sehingga dapat digunakan sebagai salah sumber air untuk warga,” urainya.

Dia menambahkan, bila di kemudian hari pemanfaatan void ini ternyata berdampak buruk, maka publik dapat menempuh upaya hukum. Yang bisa dilakukan di antaranya ialah gugatan perwakilan kelompok atau di dalam Undang-Undang (UU) 32/2009 tentang PPLH Hak Gugat Masyarakat. Ini sebelumnya didahului dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dan jika dinyatakan tidak berhasil baru dapat menuju tahap litigasi.
Agustina menegaskan, boleh saja pemerintah mengkaji opsi pemenuhan air baku menggunakan air di void. Namun itu tak bisa terburu-buru. Pemerintah harus transparan, terutama terkait hasil kajian air. Mengecek seluruh dokumen lingkungan perusahaan, dan memastikan Indominco tidak lari dari tanggung jawab memulihkan lingkungan.

“Jangan sampai kemudian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah melalui rencana pemanfaatan void justru merugikan masyarakat,” beber dosen hukum administrasi lingkungan ini. “Perlu komitmen Pemerintah Kota Bontang untuk mengedepankan kesehatan warganya dan juga lingkungan hidup.”

Pemerhati kebijakan publik, Herdiansyah Hamzah, bilang bila rencana ini dilegitimasi pemerintah, tentu akan dicontoh perusahaan lain. Padahal secara hukum, reklamasi itu tetap menjadi kewajiban mutlak pemegang konsesi. Tidak bisa ditukar dengan fungsi lain, apapun alasannya.

Dia kemudian mempertanyakan alasan pemerintah ingin merealisasikan rencana ini. Pasalnya menurut UU 3/2020 disebutkan, tidak melakukan reklamasi adalah bentuk kejahatan. Bagaimana mungkin pemerintah ingin mengambil air di lubang tambang yang dibiarkan menganga. Bagi pria yang akrab disapa Castro ini, itu tak ubahnya menadah hasil kejahatan.

“Perusahaan yang tidak melakukan reklamasi berdasarkan UU 3/2020 adalah kejahatan. Turut menikmatinya, ya sama saja dengan pelaku kejahatannya,” tegasnya.

Pemerintah tentu harus mencari jalan keluar agar Bontang tidak mengalami krisis air baku. Namun menurut Castro, solusi itu tidak bisa datang dari uluran tangan perusahaan. Apalagi air itu dari lahan yang tidak direklamasi. Lagi-lagi dia menegaskan, mengambil air dari lubang tambang yang tidak direklamasi tak ubahnya menadah hasil kejahatan.

“Sama saja derajatnya itu dengan menadah barang hasil kejahatan,” kata akademisi dari Universitas Mulawarman ini.

Terakhir, Castro mendorong publik untuk kritis terhadap rencana ini. Dia curiga bahwa ini upaya cuci dosa karena perusahan diduga kuat jadi salah satu penyebab banjir di Bontang.

“Jadi patut kalau publik mempertanyakan intensi atau niatnya,” tandasnya. (*)

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Bontang yang terdiri dari longtime.id, updateindonesia.com, kaltimtoday.co, bontangpost.id, dan Kaltim Post.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button