BERITANASIONALPPU

Tanaman Herbal Suku Balik Diambang Punah, Imbas Pembangunan IKN

Oleh: Lutfi Rahmatunnisa’

Eksistensi tanaman herbal yang menjadi andalan masyarakat adat Suku Balik sebagai alternatif obat tradisional di sekitar Kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur diambang punah akibat menghadapi pembukaan lahan secara besar-besaran dalam pembangunan IKN.

Ibud perlahan menarik parang kecil berbungkus kayu jati yang sedari tadi ia lingkarkan di pinggulnya. Dengan parang itu, tangannya mengayun ke kanan dan ke kiri menebas tanaman liar menjalar yang menghalangi jalannya.

Usianya tak lagi muda, namun kedua kakinya masih menyimpan banyak energi untuk melakukan perjalanan, menapaki tanah perkebunan dari satu lahan ke lahan lain milik warga sekitar. Mencari dua tanaman herbal yakni jemelai dan daun sembung, kata Ibud bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sebab keberadaannya kini dirasa semakin sulit dijumpai.

Selain kaki, ibud mengandalkan matanya yang tajam untuk menyisir dua tanaman herbal di setiap menapaki lahan perkebunan warga. Panasnya terik matahari siang itu amat menyengat, namun tidak menyurutkan semangat Ibud mencari jemelai juga daun sembung.

“Aduh, sekarang susah minta ampun dapat jemelai sama daun sembung,” keluhnya saat dijumpai pertengahan Januari 2024 lalu.

Ibud ialah satu dari sekian banyak perempuan adat Suku Balik yang terkenal di wilayahnya masih menggunakan daun sembung dan jemelai sebagai obat tradisional di lingkungan keluarganya. Wanita berusia 56 tahun yang akrab disapa Julak Ibud itu bermukim di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku. Salah satu kelurahan yang masuk dalam kawasan inti IKN.

Butuh waktu perjalanan hampir 1,5 jam lamanya untuk menemukan kedua tanaman herbal itu. Beruntung, tepat di menit ke 46 akhirnya Ibud menemukan jemelai di salah satu lahan perkebunan milik warga. Jemelai sendiri ialah tanaman rimpang yang berkembangbiak dengan cara rizoma. Serumpun dengan tanaman herbal lainnya seperti jahe, kencur, ataupun kunyit.

Jemelai sendiri memiliki kesamaan dengan jahe putih. Yakni sama-sama memiliki daging berwarna putih. Perbedaannya terletak pada ukuran dan aroma. Jemelai berukuran lebih besar dari jahe putih normal. Pun, jemelai memiliki aroma yang khas, tidak menyengat seperti jahe putih.

Berbeda dengan jemelai, untuk mendapatkan daun sembung Ibud harus melewati perkebunan sawit warga sekitar. Setidaknya Ibud membutuhkan waktu perjalanan sekira satu jam dari lokasi jemelai. Itupun, daun jemelai yang ditemukan hanya tumbuh satu pohon di lahan perkebunan warga.

Di zaman serba modern seperti saat ini, layanan medis kian mudah diakses, tetapi cara tradisional masih menjadi tumpuan pengobatan masyarakat adat Suku Balik. Istilahnya, sekecil apa pun pil obat sulit ditelan, tetapi biji luwing yang besar pun tetap masuk lewat tenggorokan. Istilah itu dapat diartikan bahwa masyarakat adat masih bersandar pada pengobatan tradisional.

Berbekal pengetahuan resep nenek moyang secara turun temurun, Ibud menguasai pengolahan tanaman herbal liar yang banyak tumbuh di wilayahnya. Meski begitu, paling sering ia gunakan ialah jemelai dan daun sembung. Ibud percaya, jemelai dan daun sembung mengandung beragam khasiat. Diantaranya dapat meredakan nyeri sendi dan otot, menurunkan demam, flu, batuk, maupun asma.

Jemelai sendiri digunakan untuk meringankan flu ataupun batuk. Jemalai dimanfaatkan hanya sebagai obat luar alias tidak dikonsumsi sebagai minuman herbal. Cara penggunaan jemelai mulanya dihaluskan kemudian ditempelkan di dahi secukupnya. Waktu terbaik menggunakan jemelai, kata Ibud ialah saat menjelang tidur malam.

“Pas jemelai ditempelkan di dahi akan mengeluarkan efek hangat gitu. Jadi pas bangun tidur sudah enakan. Enggak flu ataupun batuk lagi,” ungkapnya.

Kemudian, daun sembung memiliki nama latin bulumea balsamifera. ia mempunyai daun berwarna hijau, lebar dan juga berbulu. Tidak hanya itu, daun sembung memiliki bunga kecil berwarna kuning ataupun putih. Satu pohon daun sembung meimiliki tinggi mulai 60 cm – 70 cm.

Ada dua versi untuk memanfaatkan daun sembung. Yang pertama dengan merebus beberapa lembar daun sembung dengan air kemudian diminum air rebusannya secara rutin selama demam ataupun asma. Sebab rasanya yang pahit, ibud menyarankan untuk mencampurkan air rebusan daun sembung dengan madu sebagai penawarnya. Jika penyakit tersebut menimpa bayi, maka daun sembung ditumbuk kemudian diletakkan di dahi bayi. Tujuannya untuk menurunkan demam.

Sedangkan cara penggunaan kedua dikhususkan untuk menangani flu dan batuk. Caranya beberapa lembar daun sembung cukup diremas lalu dicampurkan dengan air yang berada di bak mandi. Dengan begitu khasiat daun sembung akan tercampur dengan air.

“Atas ijin dari yang maha kuasa apapun penyakitnya akan hilang. Tidak hanya saya ataupun anak cucu saya, dari jaman orang tua sebelum-sebelum saya juga sudah pakai itu (jemelai dan daun sembung),” timpalnya.

Populasi jemelai dan daun sembung makin sulit dijumpai

Sebagian besar hidup Ibud ia habiskan dengan berkebun. Menanam umbi-umbian hingga sayur-mayur yang merupakan bahan pokok untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.  Ia lahir dan besar di Kelurahan Pemaluan. Hampir setiap sudut desa ataupun seluk hutan yang berada di Kecamatan Sepaku ia paham betul kondisinya.

Berdasarkan pengalamannya, jemelai dan daun sembung tumbuh dengan sendirinya alias tidak ditanam secara sengaja. Daun sembung dan jemelai tumbuh secara liar bersanding diantara tanaman hortikultura yang ditanam oleh petani. Pun, tumbuhnya jemelai dan daun sembung tidak tumbuh secara berkelompok namun berjarak antara pohon satu dengan pohon lainnya.

“Asalkan ada tanah subur daun sembung sama jemelai pasti tumbuh. Tapi sekali tumbuh tidak langsung banyak. Kadang cuman se pohon aja. Apalagi kalau musim hujan, makin susah didapat,” paparnya.

Dulu, sebelum IKN hadir, Ibud bilang keberadaan dua tanaman herbal tersebut memang mulai sulit dijumpai. Dia menduga sulitnya mendapatkan daun sembung dan jemelai bermula saat hutan di Penajam Pasar Utara mulai terdegradasi dengan hadirnya PT. Internasional Timber Corporation Indonesia [ITCI] pada 1970-an.

“Perubahannya sangat terasa. Hampir semua warga di sini tahu, kalau setiap tahun perusahaan memperluas lahan. Soalnya banyak warga yang mengeluh karena lahan mereka diambil alih ITCI. Dari situ saya juga sadar kalau jemelai dan daun sembung sulit ditemui,” jelasnya.

Kemudian, secara perlahan Ibud merasa populasi jemelai dan daun sembung yang biasa ia dapat di sepanjang perkebunan maupun hutan makin menyusut di saat kondisi hutan di Penajam Paser Utara diperparah dengan kehadirian IKN sebagai proyek ambisius pemerintah sejak 2020 lalu.

Masifnya pembangunan IKN dengan membuka lahan secara besar-besarana di setiap tahunnya membuat hutan di sekitar permukiman warga mulai banyak yang gundul. Sehingga tidak lagi menyediakan tanaman herbal dalam jumlah banyak. Akibat kondisi tersebut, sebagian besar masyarakat adat Suku Balik beralih menggunakan obat bebas yang dijual di warung.  

“Hadirnya perusahaan itu di PPU memang membuat jemelai dan daun sembung agak susah didapat. Tapi, kalau ke hutan atau belakang rumah pasti ketemu. Sekarang kalau di belakang rumah ataupun kebun mana ada lagi semenjak ada IKN,” keluhnya.

Disebutkan Ibud, faktor lain penyebab populasi jemelai dan daun sembung diambang punah adalah sulitnya mengembangbiakkan di pekarangan rumah. Baik itu ditanam langsung di tanah atapun menggunakan media pot. Ibud dan juga perempuan adat Suku Balik lainnya pernah mencoba beberapa kali, namun gagal. Sehari setelah dipindahkan dari tanah asalnya, baik jemelai ataupun daun sembung langsung menguning lalu mati.

Itu sebabnya, Ibud dan perempuan adat Suku Balik lainnya rela mencari jemelai dan daun sembung di kebun warga ataupun hutan yang jauh dari permukiman. Tak hanya itu, banyaknya perkebunan warga yang semula dimanfaatkan sebagai tanaman pertanian kini beralih menjadi perkebunan sawit membuat dua tanaman herbal tersebut semakin sulit dijumpai.

“Mungkin karena tumbuh liar jadi susah mau dikembangkan sendiri. Bibitnya pernah kita coba untuk ditanam dari awal. Tapi selalu gagal. Padahal kami rawat seperti tanaman pada umumnya. Nah, dari situ kami tidak ada niat untuk mengembangkan lagi,” urainya.

Tidak adanya generasi muda penerus pemanfaatan tanaman herbal seperti jemelai dan daun sembung yang kerap dikonsumsi masyarakat adat Suku Balik membuat keresahan tersendiri bagi Ibud. Dengan begitu, pengetahuan warisan leluhur secara tidak langsung akan terputus.

“Mungkin karena beda zaman. Jadi anak zaman sekarang banyak yang nggak tahu bentuk tanaman herbal yang sering dikonsumi masyarakat adat itu sendiri. Pasti lama-lama bakal terlupakan,” sebut Ibud.

Selain jemelai dan daun sembung beberapa tanaman herbal Suku Balik lainnya yang populasinya nyaris punah ialah sebagai berikut :

(Berada di halaman akhir)

Upaya Pelestarian jemelai dan daun sembung

Menurunnya populasi jemelai dan daun sembung juga disadari Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Kalimantan Timur dari Kelurahan Pemaluan Elysnawati. Kondisi tersebut ia sadari lantaran secara turun temurun keluarganya masih menggunakan jemelai dan daun sembung sebagai obat tradisional.

“Beberapa tahun terakhir ini memang terasa agak susah liat dua tanaman itu. Saya ngéh karena masih sering memanfaatkan tanaman itu,” ucap Elys.

Agar jemelai dan daun sembung tidak punah, wanita yang juga menjadi salah satu perempuan adat Suku Balik itu berencana membudidayakannya dengan membangun kebun kolektif tanaman herbal.

Untuk itu, Elys mulai menggerakan perempuan masyarakat adat Suku Balik lainnya dengan mengelola sebuah lahan menjadi kebun kolektif. Nantinya di kebun kolektif itu ditanami berbagai jenis tanaman herbal masyarakat adat Suku Balik. Kata Elys, bukan perkara mudah menyatukan suara perempuan adat Suku Balik yang berada di Kelurahan Pemaluan. Sebab, perempuan adat Suku Balik di sana mayoritas berusia lanjut.

“Itu tantangan buat saya. Kebanyakan dari mereka itu sudah sepuh, dan punya kesibukan lain. Tapi setelah saya berbincang dengan mereka, alhamdulillah banyak yang tergerak. Kalau tidak begitu anak cucu kami tidak akan tau khasiat tanaman warisan leluhur,” bebernya.

Persoalan lain yang dihadapi Elys dalam melestarikan jemelai, daun sembung dan tanaman herbal lainnya dalam bingkai kebun kolektif ialah lahan. Dua tanaman tersebut jelas sangat sulit untuk dibudidayakan. Lantaran tumbuh liar. Itu sebabnya dibutuhkan lahan yang masih ditumbuhi oleh dua tanaman itu. Mulanya, Elys mengajukan lahan perkebenunan yang dikelola orang tuanya sebagai lokasi kebun kolektif.

Jauhnya jarak tempuh yang lokasinya berada di luar Kelurahan Pemaluan menjadi pertimbangan tersendiri. Beruntung, salah satu perempuan adat Suku Balik mengajukan lahan perkembunannya seluas satu hektare untuk dikelola sebagai kebun kolektif.

“Kalau lokasinya jauh kasihan juga. Mau nggak mau harus mikirin akomodasinya.  Alhamdulillah, salah satu perempuan adat di Kelurahan Pemaluan ada yang bersedia lahannya dikelola,” timpalnya.

Gerakan pelestarian tanaman herbal dengan cara membuat kebun koletif mendapat dukungan penuh dari Jubain. Ia adalah Ketua Adat Suku Balik di Kelurahan Pemaluan. Menurutnya, gagasan tersebut adalah Langkah tepat agar budaya dan tradisi Suku Balik tetap lestari.  

Jubain merasa bersyukur lantaran masih ada generasi muda suku Balik yang peduli terhadap budaya yang diwariskan leluhur. Kendati dia menyadari perbedaan generasi menyebabkan anak-anak muda Suku Balik kurang memperhatikan tradisi dan cenderung mengikuti budaya kekinian. Padahal mereka punya peran penting dalam melestarikan warisan budaya adat Suku Balik.

Di samping itu, Jubain juga merasa cemas tentang dampak dari pembangunan IKN. Dengan banyaknya pendatang yang nantinya bakal bermukim di wilayah tersebut, secara tidak langsung budaya dan kearifan lokal Suku Balik bisa terkikis lalu hilang. Jubain berharap pemerintah membantu merawat pemukiman adat mereka dan memberikan dukungan dalam hal perlindungan, pembinaan, maupun pendidikan.

“Tentu gagasan itu saya sambut dengan senang hati dan saya dukung. Soalnya memang sulit didapat jemelai dan daun sembung sekarang itu. Termasuk di hutan sekitar permukiman. Dampaknya bagus karena bisa kita kenalkan kepada generasi selanjutnya,” tuturnya.

Lamban tapi pasti, meski Jubain dan perempuan adat Suku Balik mendapatkan solusi atas persoalan tanaman herbal yang terancam punah. Ia khawatir kondisi tersebut tidak akan bertahan lama tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Kedepannya, ia berencana untuk menggalang dukungan kepada pemerintah setempat.

“Lahan warga saja banyak yang ikut kena dampaknya oleh kehadiran IKN dan perusahaan. Jadi, kalau pemerintah tidak ikut serta hadir, saya khawatir kebun kolektif tidak bertahan lama,” kata Jubain.

Lunturnya identitas Suku Balik

Presiden Joko Widodo menggagas proyek IKN pada Agustus 2019. Proyek yang terkesan terburu-buru itu disebut-sebut tanpa konsultasi secara adil dengan warga. Kemudian, pada Maret 2022 Presiden Jokowi meresmikan titik nol kilometer IKN di Kecamatan Sepaku.

Cakupan wilayah IKN terdiri dari wilayah darat dan laut. Wilayah darat memiliki luas kurang lebih 256.142 hektar. Sementara wilayah perairan laut seluas kurang lebih 68.189 hektar. Wilayah darat IKN nantinya terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan IKN dengan luas kurang lebih 56.180 hektar yang akan menjadi kawasan inti pusat IKN. Sementara pembangunan kawasan pengembangan seluas kurang lebih 199.962 hektar.

Di Kecamatan Sepaku itu sendiri, Jubain bilang Suku Balik tersebar di beberapa kelurahan. Diantaranya, Kelurahan Sepaku, Mentawir, Maridan, dan Pemaluan. Suku Balik kerap kali disamakan dengan Suku Paser (sub etnis Dayak) yang juga bermukim di PPU. Padahal, keduanya memiliki perbedaan. Dialek Bahasa salah satunya. Jika dilihat dari bahasa, dialek bicara yang digunakan Suku Paser dapat dimengerti Suku Balik, sebaliknya Bahasa Suku Balik tidak dimengerti suku lain.

“Di PPU itu sebenarnya banyak suku. Mungkin karena logat kami terdengar mirip makanya sering dikira sama,” timpalnya.

Masyarakat Adat Suku Balik di Kawasan IKN adalah komunitas kecil yang memiliki mata pencarian dan praktik tradisional. Semuanya berkaitan erat dengan wilayah adat. Dalam aktivitas kesehariannya, masyarakat Suku Balik saat ini tidak banyak yang berkebun, bertani, maupun berburu. Lantaran hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat Suku Balik sudah banyak yang terdegradasi. Baik itu diakibatkan masuknya perusahaan ataupun untuk pembangunan IKN.

Masuknya beberapa perusahaan di tanah adat, secara tidak langsung mengubah struktur fisik wilayah sekitar. Luas ladang dan hutan dikelola bersama sebagai milik komunal masyarakat adat. Namun, nilai jual tanah memicu pergeseran paradigma, mengubah ladang menjadi hak individu.

Kini, ladang komunal masih tersisa dan bekas ladang yang telah beralih kepemilikan menjadi simbol perubahan. Di balik megahnya pembangunan industri, masyarakat adat sekadar menjadi buruh harian lepas di perusahaan-perusahaan yang menjamur di tanah adat mereka.

Dengan kondisi itu, Jubain bilang masyarakat adat Suku Balik yang berada di kawasan IKN merasa terancam keberadaanya menyusul tidak adanya aturan tegas yang dapat melindungi hak-hak masyarakat adat Suku Balik.

“Nggak hanya tanaman herbal saja yang hilang sebagai identitas budaya. Tetapi mata pencarian maupun lainnya,” serunya.

Kondisi masyarakat adat Suku Balik saat ini adalah cerminan dari kompleksitas pembangunan proyek besar seperti IKN. Di satu sisi, proyek ini diharapkan membawa perubahan positif, tetapi di sisi lain, dampaknya terhadap masyarakat lokal sering kali tidak diantisipasi dengan baik.

Tanaman herbal menjadi satu dari sekian banyak persoalan yang muncul menjadi dampak pembangunan IKN. Hal itu sempat menjadi topik pembahasan antar kepala adat di setiap kelurahan. Dari situlah muncul komitmen untuk tetap melestarikan warisan leluhur masyarakat adat Suku Balik.

“Pembangunan IKN di Kecamatan Sepaku menjadi penyumbang terbesar menurunnya populasi jemelai dan daun sembung secara drastis, mengiringi banyak nya perusahaan yang beroperasi di tanah adat. Semoga niat kami melestarikan budaya mendapat restu pemerintah,” jelasnya.

Meski tak memiliki data persis, Jubain memprediksi jumlah masyarakat adat Suku Balik di Kecamatan Sepaku saat ini hanya 1.000-an orang. Jumlah tersebut terbilang sedikit sebab masyarakat pendatang di Kecamatan Sepaku semakin bertambah sejak tahun 1990-an. Kedatangan para transmigran di Kecamatan Sepaku menurut Jubain mempengaruhi gaya hidup maupun budaya asli Suku Balik.

Namun, jika mengutip data lembaga pemetaan wilayah-wilayah adat di Indonesia, yakni Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), lanskap Benuo Paser Balik Pemaluan (sebutan untuk wilayah adat Balik di Pemaluan) terdiri dari dataran, pesisir, dan bahari dengan luas 28.875 hektare. Sedangkan total penduduknya mencapai 7.431 jiwa.

Tanaman herbal Suku Balik wajib dilindungi pemerintah

Akademisi Sekaligus Ketua Pusat Studi Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Emilda Kuspraningrum mengatakan dalam perspektif hukum tanaman herbal seperti jemelai dan daun sembung itu memiliki perlindungangan hukum, yakni pada PP 56 tahun 2022 tentang Kekayaan intelektual komunal. Setidaknya kekayaan intelektual komunal (KIK) terdiri dari 4 hal. Ialah ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional, indikasi geografis, dan sumber daya genetik. 

Ia tidak memungkiri bahwa tanaman herbal masyarakat adat Suku Balik terancam punah akibat pembangunan IKN. Sepanjang pengamatannya, tidak hanya sumber daya genetik (dalam hal ini tanaman obat) yang ikut menghilang, termasuk juga budaya penggunaan dan pengolahan tanaman obat.

Hasil penelitiannya di lapangan menjelaskan, bahwa penyebab hal-hal yang dulu mereka kuasai dan yakini sebagai salah satu metode untuk mencari solusi dalam penyembuhan kini hilang adalah masyarakat saat ini sudah tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang bersifat tradisional. Justru mereka cenderung pragmatis memilih jalan yang lebih cepat, mencari pekerjaan yg cepat mendapatkan hasil dan membelanjakan apa yang diinginkan dengan cepat pula (dibanding harus mencari sumber daya genetik di hutan dan mengolahnya).

“Mencari pekerjaan yang jauh lebih mudah salah satunya adalah bekerja sebagai buruh sawit pada masa berdirinya Perusahaan sawit saat itu dan kini menjadi buruh pembangunan IKN,” kata Emilda.

Adapun, untuk KIK yang dikonsumsi masyarakat adat Suku Balik, wajib hukumnya bagi pemerintah daerah setempat untuk melakukan pendataan, dan perlindungan.

Namun, hasil lapangan menunjukan bahwa hal tersebut belum dilakukan oleh pemda setempat.

“Semestinya sebelum pembangunan IKN seperti saat ini, perlu dilakukan pendataan mengenai kekayaan intelektual komunal masyarakat setempat. Kalaupun ada didalam data direktoral jendral KI prosentasenya masih sangat kecil. Pendataan ini sangat penting untuk memaping apa saja potensi masyarakat setempat yang bisa dikembangkan, seiring dengan perkembangan pembangunan IKN,” tegasnya.

Akibat tidak adanya perlindungan dari pemda setempat, kata Emilda tidak menutup kemungkinan jika kedepannya tanaman herbal masyarakat adat bakal tergerus habis akibat masifnya pembangunan IKN. Sebaliknya, jika pemda melakukan pendataan, memberikan perlindungan, serta mengelola dengan baik dan benar kepada mayarakat adat yang masih mencari tanaman herbal di hutan, meracik tanaman herbal, menjalankan pengobatan, dan sebagainya maka akan mendatangkan banyak hal positif bagi masyarakat adat. Kesejahteraan ekonomi salah satunya.

“Sebagai akademisi kami sangat mendorong pemda untuk melakukan pendataan di masyarakat terkait tanaman herbal apa saja yang terancam punah. Bahkan saya masih melakukan penelitian terkait kekayaan intelektual komunal di Kaltim. Termasuk PPU agar masyarakat adat tetap bisa menjaga budayanya,” urainya.

Menyusutnya populasi tanaman herbal di Kawasan IKN, juga mendapat perhatian dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur. Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Fathur Roziqin Fen mengatakan bahwa analisis linimasa tentang perubahan tutupan hutan dan lahan pada kawasan tersebut akan mendekatkan setidaknya dua temuan mendasar. Pertama hilangnya keanekaragaman hayati dan kedua berubahnya corak ekonomi-produksi masyarakat di sekitar.

Menurutnya, situasi tersebut terjadi sejak puluhan tahun lalu dengan sejumlah ijin ekstraktif, baik perkebunan monokultur, tambang dan terbitnya ijin kehutanan, baik itu hutan alam, monokultur dan lainnya (seperti; Acacia mangium dan Eucalyptus sp) telah menambah beban ekologis pada bentang alam Sepaku hingga ekosistem teluk Balikpapan.

“Valuasi ekonomi masyarakat ini dapat dilihat pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Sepaku hingga kawasan hilirnya pada Ekosistem Teluk Balikpapan. Maka, mega infrastruktur ibukota negara menambah beban berlapis selanjutnya. Pada kondisi terkini, pemerintah terbukti mengabaikan hak ekosob (ekonomi sosial dan budaya) masyarakat,” urainya.

Agar keanekaragaman hayati bisa terus berkembang, pihaknya mendorong pemerintah melakukan dua hal. Pertama, dalam pendekatan landscape pemerintah harus mereview dan mengaudit seluruh perijinan yang berada pada kawasan hulu, sehingga dapat memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Kedua, pemerintah harus mengakui dan melindungi wilayah  adat dan wilayah kelola mereka.

“Karena itu prasyarat dasar untuk memastikan keberlanjutan ekosistem dan ekologis Kawasan,” tutupnya.

NoGambarNama TanamanManfaat
1  JemelaiMeringankan flu dan batuk
2 
NdinganPereda panas dalam
3
 
JabungTumbuhan sayur yang biasa dikonsumsi masyarakat Adat Paser dan Suku Balik
4 
Daun SembungMenurunkan demam, meringankan asma, flu, dan batuk.
5 
Nyulikrokot BotoMampu menutup luka setelah melahirkan dan mengurangi bau anyir darah wanita melahirkan
6  Daun LembonuPenghilang amis ikan
7Gambar belum ditemukanDaun Penumbu DagingMenyembuhkan berbagai luka luar dan penumbuh rambut
8Gambar belum ditemukanDaun Sugimengurangi bau anyir darah wanita melahirkan
9Gambar belum ditemukanDaun Temboramengurangi bau anyir darah wanita melahirkan
10Gambar belum ditemukanDaun GelinggangObat panu dan kurap

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button