BERITANASIONAL

Ancaman Hilangnya Lumbung Padi di Marangkayu

Yonatan. (Dok. Longtime.id)

Longtime.idHari sudah beranjak petang, Yonatan (55) petani Desa Sebuntal tampak bergegas. Ia bersiap-siap untuk pulang. Setelah seharian menghabiskan waktunya di sawah. Menyemprotkan racun pembasmi hama di atas hamparan padi miliknya yang mulai mengeluarkan bulir-bulir. 

Langkah demi langkah pematang sawah ia susuri. Tiba di ujung areal persawahan desa, ia melambaikan tangan, sebagai pertanda menyapa sejumlah jurnalis yang sudah menunggunya di depan. Segurat senyum yang tergurat di wajah laki-laki paruh baya itu tak mampu menyembunyikan lelahnya. Bisa dilihat dari kaos hijau muda dan berkerah orange yang dikenakan Yonatan, lembab akibat dibanjiri keringat. 

Sembari menghela nafas dan mencari posisi duduk yang nyaman, Yonatan meletakan tangki penyemprot hama yang dipanggulnya. Pandangannya jauh, kembali ia mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Kenangan yang terus membekas hingga ancaman gagal panen di Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu. 

Dihadapan sejumlah jurnalis, Yonatan menyampaikan keluh kesahnya, perihal irigasi desa. Lantaran sudah 10 tahun sawahnya seluas 2 hektar tersebut hanya mengandalkan tadah hujan dan irigasi dari sungai Marangkayu. 

Belakangan, aliran irigasi mulai berkurang. Entah apakah karena debit sungai yang mulai menyusut? Yonatan tidak tahu persis. Akibatnya para petani kerap rebutan air saat musim kemarau. 

Ketika ini terjadi, areal persawahan di Desa Sebuntal akan mengalami kekeringan. Tak pelak bukan padi yang tumbuh subur, sebaliknya rumput. Jika ingin mengatasi hama, cukup dengan disemprot saja. Namun untuk mengatasi rumput harus dengan memaksimalkan pengairan sawah. Sementara jika suplai air minim, panen petani bisa turun hingga 50 persen. Bila satu hektar sawah bisa menghasilkan 8 kuintal gabah. Namun kali ini hanya 4 kuintal gabah. 

Yonatan berharap bendungan Marangkayu bisa segera berfungsi. Seperti janji yang disampaikan pemerintah saat memulai proses pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut. Pasalnya, “nyawa” sawahnya sangat bergantung dengan pasokan air. Sudah 16 tahun ia bersama para petani di Desa Sebuntal menanti. Namun hingga kini tak kunjung terealisasi. 

“Bagaimana bisa memaksimalkan hasil pertanian, jika selalu mengandalkan air sungai dan tadah hujan?” katanya kepada awak media, Selasa (19/09/2023).

Persawahan Desa Sebuntal. (Dok. Longtime.id)

Serupa disampaikan Pattenre (55). Ia sudah menjadi petani sawah di Desa Sebuntal sejak lulus di bangku SMA. Jauh sebelum bendungan Marangkayu dibangun. Pattenre memiliki 8 hektar sawah, dengan hasil produksi gabah idealnya mencapai 10 ton setiap tahun.  Ia sangat berharap bisa memaksimalkan produksi padinya. Beberapa tahun terakhir produksi gabahnya turun, karena terkendala pasokan dari irigasi sudah berkurang.

“Hasilnya tidak maksimal, harusnya bisa memanen 10 ton justru menurun menjadi 5 ton saja. Sering terjadi begitu. Ya, beginilah nasib dan kondisi pertanian kami di Desa Sebuntal,” sebutnya.

Panttenre mengatakan, jika di daerah lain petani bisa memanen padi dua hingga tiga kali dalam setahun jika didukung irigasi sawah dengan baik. Namun tidak demikian di Desa Sebuntal. Seperti bertaruh, petani harus bergantung dengan pasokan aliran air sungai dan tadah hujan. 

Belum lagi, lanjut Panttenre, cuaca yang tidak menentu menyebabkan datangnya hujan tidak dapat diprediksi. Ketika musim penghujan pasokan air melimpah. Namun air tersebut tidak dikelola dengan baik, Sebaliknya, air malah menggenangi sawah menjadi banjir. 

Kondisi berbeda jika datang musim kemarau. Petani menjadi semakin sengsara dan harus memutar otak. Air sungai Marangkayu sudah tidak cukup lagi untuk mengairi sekitar 1.000 hektare sawah di Desa Sebuntal. 

Bulan lalu, lanjut Panttenre, beberapa hektar sawah di Desa Sebuntal banyak ditumbuhi rumput karena musim kemarau, termasuk miliknya. Akibatnya, hasil pertanian menjadi korban.

“Kalau sekarang dibilang gagal panen tidak juga, atau rugi tidak juga. Hanya modal awal yang bisa kami peroleh kembali. Artinya tidak ada untung,” tutur Ketua RT 19 Desa Sebuntal tersebut.

Ia merasa pemerintah tidak terlalu memperhatikan persoalan yang dialami petani di Desa Sebuntal. Pilihannya hanya ada dua, bertahan hidup atau hengkang dari desa untuk mencari sumber penghidupan yang lain. 

Kesulitan irigasi sawah, membuat dirinya dan beberapa petani memilih mengubah sawah menjadi perkebunan. Namun rencana tersebut selalu batal.

“Bendungan Marangkayu tentu sangat penting bagi kami. Kalau berlarut-larut, bisa saja pertanian sawah menjadi lumpuh,” terangnya. 

Tak jauh berbeda dengan Sumarni (50). Ia memilih membuka usaha jual beli hasil pertanian di rumahnya. Ini lantaran sawah seluas 2 hektar, yang ia beli 7 tahun lalu tidak dapat ditanami padi. Lantaran tidak ada suplai air untuk mengairi sawah.

“Makanya sampai sekarang dibiarkan saja lahannya. Karena percuma kalau ditanami padi, irigasi persawahan belum masuk,” ujar Sumarni di sela-sela aktivitas pengarungan beras miliknya.

Ia sendiri merasa heran, mengapa proses irigasi persawahan belum dilakukan? Padahal bendungan tersebut sudah dibangun sejak 16 tahun lalu. Bahkan, lanjut Sumarni, konon perihal ganti rugi pembebasan lahan bendungan juga belum tuntas. Sepertinya sengaja dibiarkan berlarut-larut.

Sumarni saat melakukan penjemuran gabah padi (Dok. Longtime.id)

Embung yang Tidak Berfungsi 

Sebenarnya, untuk memaksimalkan irigasi sawah, pemerintah sudah membangun fasilitas embung desa. Di Desa Sebuntal ada dua embung (cekungan penampung suplai air hujan, red). Sayangnya embung tersebut tidak bisa berfungsi maksimal ketika menampung air hujan maupun air sungai. 

Untuk mengoperasikannya saja, para petani harus bergotong royong mendirikan penahan air dari kayu yang dipasang di dalam sungai. Serta bersedia patungan untuk membeli terpal yang digunakan untuk menahan aliran air sebelum dialirkan ke persawahan. 

“Tapi itu bukan embung, kalau kami menyebutnya bendungan tradisional,” timpalnya.

Embung yang tidak mampu mengakomodir kebutuhan air seluruh lahan sawah di Desa Sebuntal, menyebabkan petani memilih menyedot air secara mandiri dengan menggunakan pompa dari sungai Marangkayu untuk mengairi sawah masing-masing. 

Tiga Desa di Marangkayu 

Secara geografisnya, Kecamatan Marangkayu beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan per bulan 233,67 mm, dan rata-rata hari hujannya berkisar 22 hari per bulan.Mata pencaharian utama penduduk desa adalah petani yang didominasi pada sektor persawahan serta produksi padi. Sektor waralaba, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) justru masih minim di jantung pemerintahan Kecamatan Marangkayu itu.

Di Kecamatan Marangkayu, selain Desa Sebuntal ada dua desa lagi yang menjadi penyumbang terbesar hasil pertanian, yakni Desa Semangkok dan Santan Ulu. Desa tersebut setidaknya menghasilkan ribuan ton padi setiap tahunnya. Namun jika persoalan kesulitan air untuk pengairan sawah terus terjadi, para petani bisa terancam kehilangan mata pencaharian. 

Menurut data UPT Penyuluhan Pertanian dan Peternakan Kecamatan Marangkayu, pertanian tanaman pangan merupakan salah satu subsektor dari sektor pertanian di Marangkayu. Subsektor pertanian tanaman pangan mencakup tanaman padi (padi sawah dan padi ladang), palawija (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau) serta hortikultura (buah–buahan dan sayur-sayuran).

Tahun 2020, total produksi padi sawah yang dihasilkan di Kecamatan Marangkayu mencapai 9.768 ton dengan luas panen 2.363 hektar, sehingga rata-rata produktivitas padi sawahnya 12,1 kwintal/hektar.

Pada tahun 2021, total produksi padi sawah mengalami peningkatan yakni mencapai 10.430 ton dengan luas panen 2.518 hektar, rata-rata produktivitas padi sawah 12,30 kwintal/hektar.

Kemudian, tahun 2022 produksi padi sawah cukup anjlok menjadi 8.057 ton dengan luas panen 2.250 hektar. Sehingga rata-rata produktivitas sawahnya 10,3 kwintal/hektar. 

Kekurangan Air, Padi Terancam Gagal Panen

Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Sadaruddin mengatakan tanaman pangan padi sawah merupakan jenis tanaman yang membutuhkan banyak pasokan air. Kehadiran bendungan di Marangkayu otomatis bisa meningkatkan indeks penanaman padi sawah. 

Jika sebelumnya tanpa dukungan irigasi dalam setahun petani hanya mampu melakukan sekali penanaman, namun jika didukung dengan pengairan irigasi yang cukup dan teratur maka penanaman bisa dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun.

Kurangnya pasokan air selama proses tanam, akan berdampak dengan ancaman kegagalan panen. Ia mencontohkan kondisi persawahan yang tidak ditopang dengan sarana irigasi saat berkunjung ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) beberapa bulan lalu. 

“Waktu itu terjadi kemarau di sana (PPU, red). Sementara pertumbuhan padi sudah mulai berbunga dan pengisian gabah. Dalam kondisi ini, tanaman harus ditopang air yang cukup memadai. Makanya saya kasihan melihatnya,” katanya.

Peranan irigasi untuk lahan pertanian sawah sangat dibutuhkan. Hal ini karena air memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan hasil produksi. Jika lahan pertanian mendapatkan air yang cukup, maka produksinya dapat meningkat. Pun sebaliknya jika kandungan air tidak mencukupi, maka tanaman akan layu atau mati sehingga hasil produksi menurun.

Sadaruddin menyampaikan, dalam siklus pertanian peran air sangat vital. Tanpa air, maka proses tanam bisa gagal hingga penyediaan pangan pun bisa terganggu. Keberadaan bendungan irigasi, tidak hanya meningkatkan produksi padi, tetapi juga kesejahteraan bagi petani.

“Keberadaan bendungan diharapkan dapat meningkatkan luas lahan sawah irigasi yang mendapat pasokan sumber air.  Hal ini akan membantu memperkuat ketahanan pangan di wilayah Kukar hingga Kaltim,” tuturnya.

Kecamatan Marangkayu termasuk salah satu daerah penghasil padi sawah yang berkualitas di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Petani yang menanti irigasi, kata dia, seharusnya paling tidak didukung dengan pembangunan embung padi sawah sebagai penampungan air sungai atau air hujan.

“Embung ini sangat penting. Karena selain biayanya tidak terlalu besar, juga bisa cepat pembangunannya. Ketimbang bendungan, tentu lama prosesnya,” tuturnya.

Satu dari dua bendungan tradisonal di Desa Sebuntal. (Dok. Longtime.id)

Antisipasi Lewat Jaringan Irigasi

Bendungan Marangkayu merupakan salah satu PSN di Provinsi Kalimantan Timur, yang pembangunan fisiknya dimulai 2007. Proses perencanaan pembangunan bendungan sudah dimulai sejak tahun 2005. Hingga saat ini bendungan Marangkayu, hampir 18 tahun, bendungan Marangkayu tak kunjung beroperasi. Bendungan ini jaraknya kurang lebih 7 kilometer dari pusat perkampungan. 

Kepala Satuan Kerja (Satker) Pembangunan Bendungan BWS Kalimantan IV Samarinda, Zulaidi memperkirakan paling lambat semester pertama tahun 2024, bendungan Marangkayu sudah bisa difungsikan untuk penggenangan tahap satu. 

Namun perihal irigasi ia tidak banyak berkomentar, karena merupakan ranah Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat (PUPR-Pera) Kaltim. Ia sempat mengatakan awal pembangunan bendungan 2007 silam, BWS pernah menangani persoalan irigasi. Tetapi mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat. 

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Perencanaan Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPR-Pera Kaltim, Muhammad Zuraini Ikhsan menyebut operasional jaringan pengairan Marangkayu baru dapat dilakukan setelah pembangunan saluran pembuang dan boks bagi sadap. Saat ini PUPR masih menunggu proses pembebasan lahan dan akan dilanjutkan dengan pembangunan saluran pembawa (primer, sekunder, tersier).

“Pada penggenangan tahap pertama tersedia pasokan air di bendungan Marangkayu akan dapat mengairi sawah kurang lebih 650 hektar dan air baku 300 liter/detik. Namun untuk mengairi sawah, diperlukan pembangunan saluran pembawa, saluran pembuang dan boks bagi sadap terlebih dahulu,” jelasnya.

Selain itu, nantinya pemerintah juga akan membangun bendung regulator Sebuntal yakni untuk pengairan daerah irigasi Sebuntal. Secara keseluruhan luas lahan daerah irigasi kurang lebih 1.453,87 hektar. Dimana 911,64 hektar daerah irigasi di Desa Sebuntal dan 9,23 hektar di Desa Semangkok. Irigasi tersebut akan mendapatkan suplai air dari bendungan Marangkayu.

“Ada 533 hektar daerah irigasi lainnya di Desa Sebuntal yang akan disuplai dari sumber air bendung regulator Sebuntal,” urainya.

Ikhsan mengatakan, selama ini kegiatan persawahan daerah irigasi Marangkayu disuplai dari air Sungai Merah (Sungai Marangkayu) untuk luasan 215 hektar lahan, dan tadah hujan 109 hektar. Adapun dua kali masa tanam seluas 200 hektar, serta satu kali masa tanam sebanyak 579 hektar. 

“Dengan indeks pertanaman sebesar 1,34. Diharapkan dengan adanya sumber air dari bendungan Marangkayu nantinya dapat menjamin ketersediaan air,” katanya.

Nantinya jika bendungan Marangkayu sudah beroperasional, akan mengairi 920,87 hektar sawah dengan indeks pertanaman dua hingga tiga kali masa tanam. Sementara sumber air bendung regulator Sebuntal dapat mengairi 533 hektar sawah dengan indeks pertanaman dua sampai tiga kali masa tanam.

Sementara bendungan belum beroperasi, untuk menjaga keberlangsungan pertanian di Marangkayu, pemerintah sudah mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan terhadap jaringan irigasi eksisting untuk mempertahankan kinerja irigasi tadah hujan. (**)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button