BERITABONTANGNASIONAL

Andal ala PLTU Teluk Kadere, Hilangkan Permukiman Dulu

(Dok. Pribadi)

ZAINAL ABIDIN menatap nanar dokumen tebal di hadapannya. Sembari mengacungkan jari dia mempertanyakan keberadaan permukiman warga RT 15 Loktunggul yang hilang di dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Andal) PLTU Teluk Kadere tersebut.

“Padahal masih ada permukiman di sekitar lokasi PLTU,” kata Zainal.

Loktunggul masuk wilayah Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan. Jauh sebelum PLTU itu berdiri, kampung tersebut sudah lebih dulu eksis sejak 1975. Masyarakatnya hidup dari kekayaan laut Selat Makassar. Hanya dengan memancing di pinggir laut, warga sudah dapat ikan. Begitu pun dengan budidaya rumput laut. Namun, setelah pembangkit listrik itu beroperasi mereka harus melaut lebih jauh.

Zainal, 48 tahun, adalah ketua RT di wilayah tersebut. Penghapusan permukiman warga Loktunggul dari peta diketahuinya ketika membahas dokumen Andal, saat sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTU Teluk Kadere medio 2015 di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur.

Saat itu Zainal kaget lantaran pada peta lokasi rencana pembangunan PLTU yang ditampilkan di proyektor, tidak menampilkan permukiman Loktunggul. Hal itu diperkuat dengan penjelasan PT Graha Power Kaltim (GPK), operator PLTU, yang saat sosialisasi menyampaikan jika di lokasi tempat mereka membangun PLTU tidak ada permukiman warga karena sudah direlokasi.

“Saya membantah. Saya bilang di sekitar lokasi itu masih ada permukiman warga. Itu saya sampaikan di depan para peserta sosialisasi. Ada kepala DLH provinsi juga waktu itu,” jelas Zainal saat Klub Jurnalis Investigasi (KJI) menyambangi kediamannya pada Minggu malam, 2 April 2023 lalu.

Menurut pria yang pernah berprofesi sebagai pendidik itu, meski di lokasi pembangunan PLTU memang sudah tidak ada rumah warga, namun penghapusan permukiman warga di sekitar pabrik dari peta dinilai tidak tepat. Mengingat di sekitar lokasi PLTU masih terdapat permukiman warga, khususnya warga RT 15 Loktunggul yang hanya berjarak beberapa meter dari lokasi PLTU.

Pada kesempatan yang sama Zainal juga mengaku menyanggah klaim pihak PT GPK yang menyebutkan jika hanya sedikit warga berprofesi sebagai nelayan. Padahal menurutnya, secara keseluruhan baik dari RT 13, 14 dan 15 mayoritas warganya merupakan nelayan. Di RT 15 yang dihuni 72 kepala keluarga, misalnya, 98 persen adalah nelayan. Baik nelayan tangkap maupun budidaya rumput laut.

Penghasilan warga dari hasil laut pun, kata Zainal, mencukupi kebutuhan hidup. Dia mencontohkan penghasilan sang kakak sebagai pembudidaya rumput laut. Sekali panen menghasilkan Rp12-14 juta.
“Setiap saya sanggah, mereka (GPK) selalu bilang akan evaluasi dan turun ke lapangan kembali,” kata Zainal.

Zainal mengaku tidak banyak yang dirinya sanggah dari berbagai klaim yang termuat di dokumen Andal itu, lantaran dirinya sendiri baru melihat dan membaca dokumen itu saat kegiatan sosialisasi berlangsung. Pun dengan fakta jika dirinya ternyata menjadi bagian dari Tim Komisi Penilai Amdal PLTU sebagai perwakilan masyarakat.

“Sebelumnya saya enggak tahu kalau jadi Tim Komisi Penilai Amdal, saya tahunya pas sudah di lokasi sosialisasi. Di sana baru disuruh tanda tangan surat persetujuannya,” terangnya.
Masuknya dirinya di Tim Komisi Penilai Amdal PLTU membuat Zainal heran. Pasalnya, selama pembuatan dokumen dirinya tidak pernah dilibatkan. Pun dimintai pendapat soal berbagai masalah dan kondisi di sekitar lokasi proyek.

Sembari sesekali menautkan kedua tangannya, Zainal bercerita jika kegiatan sosialisasi Amdal PLTU Teluk Kadere di Samarinda itu diketahuinya sehari sebelum kegiatan. Informasi itu, Zainal peroleh dari Rendy Irawan, Lurah Bontang Lestari kala itu.

“Pak Rendy bilang kita besok berangkat ya. Saya bilang ada apa, Pak? Dia bilang ada sosialisasi Amdal PLTU di Samarinda nanti ikut sama mobil saya saja. Ya sudah, besoknya saya berangkat. Ada dua mobil yang berangkat saat itu,” ujarnya.

Zainal mengaku, sosialisasi Amdal menghasilkan keputusan untuk menunda sementara pengesahan. Keputusan itu disampaikan DLH Kaltim menyusul sanggahan demi sanggahan yang disampaikan oleh dirinya. Sehingga dinilai perlu untuk direvisi.
“Setelahnya saya enggak pernah lagi dipanggil sampai PLTU ini dibangun,” ujarnya seraya tersenyum simpul.

Dihilangkannya Loktunggul dari peta diperkuat dokumen Andal PT Energi Unggul Persada (EUP) 2019 yang tim KJI peroleh. Dua perusahaan itu sama-sama beroperasi di Bontang Lestari. Dalam setiap lampiran peta di dokumen Andal PT EUP, masih terlihat permukiman di Loktunggul.

Peta lokasi proyek yang termuat di dokumen Andal PT EUP disusun bersumber dari keputusan Wali Kota Bontang No. 503/005/DPMTKPTSP/LOKASI/VII/2017, peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000, Foto Satelit WV Liputan Tahun 2015, peta Rencana Tata Ruang Kota Bontang berdasarkan Perda 11/2012, dan Peta Geologi Bersistem Provinsi Kalimantan Timur skala 1:250.000. Peta lokasi proyek PT EUP tersebut digambar oleh Apri Gunawan. Kemudian diperiksa dan disetujui oleh Lian Pongoh.

Sementara berdasarkan dokumen Andal PLTU Teluk Kadere 2015 yang tim KJI peroleh, pada peta lokasi memang tidak tampak permukiman Loktunggul. Peta tersebut disusun oleh CV Smart Teknik Consultant yang beralamat di Samarinda. Penyusunan peta lokasi itu dibuat berdasarkan Peta Administrasi Kota Bontang 2011, Peta Administrasi Kabupaten Kutai Timur 2011, dan hasil survei lokasi studi PT Graha Power Kaltim (GPK).

Permukiman Loktunggul juga tidak dimunculkan pada peta lokasi yang tercantum di dokumen Adendum Andal, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL) PLTU Teluk Kadere yang dikeluarkan pada 2019.

Peta lokasi itu disusun berdasarkan tujuh sumber. Di antaranya, peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 edisi 2010 lembar 1916-12 Bontang dan 1916-21 Bontang Kuala, Badan Informasi Geospasial. Juga merujuk pada data survei lapangan 2019, dan data citra satelit resolusi tinggi SPOT 6 perekaman 2016.
Tidak dianggapnya Loktunggul oleh PLTU Teluk Kadere diperkuat dengan tidak adanya perhatian mereka kepada warga. Hingga 2020, kampung itu belum mendapat pasokan listrik, sehingga harus menggunakan generator set. Miris karena warga hidup berdampingan dengan pembangkit listrik. Baru pada 2021 sebanyak 235 warga RT 15 mendapat pasokan listrik PLN. Itu pun mereka harus membayar sekira Rp2 juta.

PT GPK bahkan enggan mempermudah warga untuk menikmati setrum PLN. Mereka tidak memberikan akses kabel PLN melalui lahan perkantoran. Padahal hanya itu akses yang bisa dilalui.

Lokasi Loktunggul memang terisolasi oleh PLTU. Pintu masuk perusahaan adalah satu-satunya akses darat untuk bisa ke kampung. Namun, Zainal bersama warga sudah mengantisipasi agar tidak semua lahan dikuasai perusahaan.

“Kami sengaja agar jalan lingkungan yang biasa kami lalui tidak dibebaskan,” terangnya.
Jalan lingkungan itu kini menjadi pembelah antara pabrik dan kompleks perkantoran, serta mes karyawan. Bersama 72 kepala keluarga lainnya, Zainal mengancam akan membentangkan kabel listrik di bawah jalan itu. Jika dilakukan, maka aktivitas PT GPK dapat terganggu.

“Akhirnya mereka mengizinkan kabel dipasang di dinding drainase. Pipa PDAM juga dilewatkan situ,” ujarnya.

Sejak berdiri, yang diketahui warga, GPK memang minim kontribusi. Satu-satunya tanggung jawab sosial yang mereka berikan adalah semenisasi jalan sepanjang 73 meter menuju lingkungan RT 15.

Zainal kini sudah pasrah untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lantaran seluruh perjuangan mereka sebelumnya selalu berakhir di meja rapat elite pemerintah. Tanpa adanya tindakan nyata.
Sebelum pembuatan Andal, pada 2012 Zainal menghadiri undangan persiapan pembebasan lahan RT 15 untuk kepentingan PLTU Teluk Kadere. Lahan warga dihargai Rp15 ribu per meter. Kepada perusahaan, dirinya meminta waktu untuk menyampaikan lebih dulu ke warga yang memiliki lahan.

Setelah rapat berakhir anggota tim pembebasan lahan dari perusahaan mendekati Zainal. Orang itu menjanjikan uang dalam jumlah besar apabila Zainal bisa meyakinkan warga untuk menjual lahan mereka.

“Perusahaan meminta dibebaskan minimal 60 hektare lahan. Saya dijanjikan dapat Rp1 miliar,” ujarnya.

Tawaran menggiurkan itu pun disampaikan ke warga. Dia tidak ingin dicurigai mengambil keuntungan dari lahan warga. “Orang tua kami merintis sejak 1975. Banyak keluarga yang bermukim di sini,” ungkapnya.

Sepengetahuan Zainal, saat ini sudah 64 hektare lahan yang dibebaskan perusahaan. Hanya 10 hektare yang masuk RT 15, sisanya milik warga RT 14.

Ancaman Polusi Udara

Senja perlahan mulai menampakkan diri. Tak seperti ibu rumah tangga lainnya yang sibuk memasak hidangan untuk menu berbuka puasa. Ariani justru memilih duduk di teras rumahnya. Sembari menatap ke arah penampungan batu bara milik PLTU Teluk Kadere.

Lokasi stockpile yang hanya berjarak kurang 30 meter dari rumahnya, membuat Ariani begitu mudah melihat tumpukan batu bara. Terlebih, tumpukan itu menjulang tinggi melewati rumahnya.

Kondisi ini membuatnya takut untuk menyiapkan santapan berbuka untuk keluarganya. Lantaran khawatir, debu batu bara bakal beterbangan. Dan mengontaminasi makanan buatannya.

“Sudah masak dari subuh. Kalau masaknya sore takut debunya masuk rumah. Belum lagi kalau angin kencang,” ujar Ariani saat ditemui di kediamannya, Minggu, 2 April 2023 lalu.

Perempuan 48 tahun ini mengaku, cuaca dan jam operasional stockpile dan PLTU yang tidak pasti, membuat dirinya dan keluarga harus ekstra waspada. Jika sedikit saja lalai, makanan yang disiapkan bisa berakhir di tong sampah. Bukan di lambung mereka.

Ariani mengisahkan, pernah anak bungsunya terpaksa harus membuang makanan yang ia santap. Lantaran saat ditinggal mengambil air minum di dapur, makanan yang diletakkan di teras rumah sudah dipenuhi dengan debu batu bara.

“Ya, mau gimana lagi? Enggak mungkin dimakan sudah ada debunya, makanya dibuang,” sesalnya.

Jika cuaca terik, angin berhembus kencang, dan stockpile sedang beroperasi Ariani terpaksa harus menutup seluruh pintu dan jendela. Lantaran debu batu bara yang berasal dari stockpile bakal beterbangan memenuhi seluruh sudut rumah.

Tak jarang, kondisi ini membuat Ariani terpaksa harus menyuruh anak dan cucunya untuk bermain di dalam rumah. “Kalau kena mata perih. Makanya, lebih baik (main) di dalam rumah saja. Semua pintu ditutup,” jelasnya.

Ariani adalah warga RT 15 Loktunggul, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan. Ariani beserta sang suami – Darman, telah menempati rumah ini sejak 1990-an.

Ariani mengaku, sebelum adanya PLTU Teluk Kadere, kehidupannya bersama keluarga berjalan normal. Namun, sejak adanya PLTU, dirinya harus bekerja lebih keras dalam menjalankan berbagai aktivitas. Salah satunya, membersihkan rumah.

Dalam sehari, Ariani bisa menyapu sebanyak lima kali. Tak hanya itu, Ariani juga harus mengepel seluruh lantai. Ini dilakukannya demi bisa menghilangkan debu batu bara yang menempel. Ariani mengaku risih. Karena partikel hitam itu akan meninggalkan jejak kehitaman di kulit. Dan menimbulkan bau tak sedap jika tak cepat dibersihkan.
Namun, terkadang Ariani lelah. Karena meski telah dibersihkan berkali-kali, debu batu bara itu tetap hinggap ke rumahnya.

“Ini saja baru saya sapu, tapi masih ada (debu batu bara) lagi. Kalau enggak disapu, ya kayak pasir di dalam rumah,” keluhnya.

Tak hanya dari sisi kebersihan, keberadaan stockpile batu bara juga disebut telah memengaruhi kesehatan Ariani dan keluarga. Meski belum memeriksakan diri secara menyeluruh ke rumah sakit, namun wanita berjilbab ini mengaku, keluarganya kerap merasa sesak dan batuk. Utamanya, saat stockpile beroperasi disertai dengan angin kencang.

Pasalnya, meski telah menutup seluruh pintu dan jendela rapat-rapat. Debu batu bara tetap merangsek masuk dari celah-celah rumah. Belum lagi bau busuk menyengat dari batu bara yang ikut menginvasi rumah. Kondisi ini membuat keluarga Ariani harus menyalakan kipas. Untuk sedikit mengusir debu dan bau batu bara dari sistem pernapasan mereka.
“Kadang kami bingung. Keluar penuh debu, di dalam sesak napas,” lirihnya.

Kendati sering mengalami batuk dan sesak napas, namun Ariani dan keluarga memilih untuk tidak memeriksakan diri secara rutin ke rumah sakit. Lantaran khawatir hasil pemeriksaan bakal menunjukkan adanya penyakit berbahaya yang diderita dirinya maupun keluarga.

Ariani mengaku lebih memilih menutup mata soal kesehatannya dan mencoba menjalani kehidupan seolah tak terjadi apa-apa dengannya. Ini dilakukannya agar bisa menghindari stres soal kondisi kesehatannya.
“Tidak usah (memeriksakan diri ke rumah sakit). Ini saja (aktivitas sehari-hari) sudah buat capek pikiran,” keluhnya.

Keberadaan PLTU yang beroperasi sejak Oktober 2019 lalu ini, tidak mendatangkan pengaruh baik apapun pada kehidupan keluarganya. Bahkan, jaringan listrik PLN dan air PDAM yang sebelumnya tak menjangkau rumah mereka, pada akhirnya harus mereka perjuangkan sendiri. Tanpa adanya bantuan dari PT Graha Power Kaltim (GPK) selaku pengelola PLTU Teluk Kadere. Padahal saat itu, PLTU Teluk Kadere telah beroperasi.

Ariani mengaku menyesal. Proyek PLTU berkapasitas 2×100 megawatt (MW) yang kerap dibanggakan oleh Pemerintah Kota Bontang lantaran diklaim mampu menambah sumber pendapatan daerah dan menyerap tenaga kerja, nyatanya hanya mendatangkan dampak buruk bagi kehidupannya.

Perempuan berkulit sawo matang ini menyebut, seandainya kala itu tahu bahwa proyek pembangunan yang dimaksud adalah PLTU, maka dirinya bakal menolak mentah-mentah proyek itu.

“Dulu cuma dikasih tahu mau ada proyek masuk. Tapi, tidak pernah dijelaskan proyek apa itu. Ternyata, batu bara,” terangnya sembari menatap dingin tumpukan batu bara di hadapannya.

Tak jauh dari rumah keluarga Ariani terdapat rumah warga yang sampai harus membalik posisi rumahnya. Yakni, dapur menjadi ruang tamu. Dan ruang tamu menjadi dapur. Keputusan itu terpaksa diambil warga itu lantaran tak kuat dengan serbuan debu batu bara saat stockpile sedang beroperasi.

PLTU Beroperasi, ISPA Meningkat

Setelah PLTU beroperasi pada Oktober 2019, jumlah pengidap infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengalami peningkatan. Menukil data Puskesmas Bontang Lestari yang membawahi Loktunggul, penyakit ISPA masuk daftar 10 penyakit terbanyak yang menjangkit masyarakat Bontang Lestari pada 2021.

Saat itu ISPA menduduki posisi keempat dengan jumlah kasus sebanyak 112. Angka itu mengalami peningkatan 235 kasus pada periode Januari-Mei 2022 lalu. Menjadikan ISPA berada diurutan kedua.

“Sebelum 2021, ISPA tidak masuk 10 besar penyakit yang paling banyak diderita masyarakat,” jelas Kepala UPT Puskesmas Bontang Lestari, drg. Faradina saat ditemui tim KJI di ruang kerjanya, Senin, 7 Agustus 2023.
Dokter spesialis paru di RSUD Taman Husada Bontang dr. Dian Ariani Tarigan mengatakan, setiap partikel debu batu bara mengandung zat-zat racun, sehingga jika dihirup dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan kerusakan pada organ paru.

Namun, kerusakan tersebut umumnya terjadi secara perlahan-lahan. Kendati demikian, pola hidup yang tidak sehat disebut akan semakin memperparah kondisi kerusakan pada organ paru. Lantaran partikel-partikel debu batu bara yang sudah masuk ke tubuh akan sulit untuk keluar. Kondisi ini menyebabkan peradangan di paru-paru yang pada akhirnya dapat menyebabkan jaringan parut.

“Biasanya memang tidak langsung, (penyakit) akan berkembang secara kronis atau perlahan-lahan,” terang dr. Dian saat ditemui di ruang praktiknya, Kamis, 10 Agustus 2023.

Terpapar debu batu bara berisiko tinggi membuat penderita terjangkit penyakit gangguan pernapasan. Seperti batuk pilek, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), hingga kelelahan akibat kekurangan kadar oksigen. Namun, menghirup paparan debu batu bara dalam jangka waktu yang lama bisa menyebabkan timbulnya penyakit pneumokoniosis. Pneumokoniosis adalah penyakit paru-paru yang penyebabnya dikhususkan karena menghirup debu batu bara dalam jangka panjang.

“Kalau pneumokoniosis semakin parah bisa membuat paru-paru menjadi hitam (black lung) sampai kanker paru. Nah, kanker paru ini yang paling bahaya. Tidak ada obat-obatan yang bisa menolong pasien dengan kanker paru,” paparnya.

Dijelaskan dr. Dian, tidak ada obat khusus untuk penyakit pneumokoniosis. Umumnya, dokter hanya akan memberikan obat untuk mengatasi gejala-gejala yang dialami oleh pasien pneumokoniosis. Ini dilakukan lantaran kondisi paru-paru pasien sudah mengalami kerusakan.

“Jadi hanya untuk menghilangkan gejalanya. Kalau dia (pasien) batuk, ya dikasih obat batuk,” terangnya.

Dugaan Pencemaran Lingkungan Ganggu Penghasilan Warga

Darman mengaku lelah dan capek. Dampak negatif yang ditimbulkan dari keberadaan PLTU Teluk Kadere ini tidak hanya menguras tenaga dan pikirannya. Namun, juga turut mempengaruhi penghasilannya sebagai seorang nelayan rumput laut.

Limbah PLTU yang disinyalir dibuang langsung ke laut membuat penghasilannya berkurang drastis. Dia juga harus memasang tambang untuk budidaya rumput laut lebih ke tengah. Sementara sebelumnya hanya di selemparan batu dari bibir laut.

“Saya capek sekali sudah sama PLTU ini. Sudah sampai ke mana-mana (berjuang), tapi tidak ada hasilnya. Berkali-kali demo juga, tetap begitu-begitu saja,” kata suami Ariani itu dengan nada tinggi.

Diakui Darman, jauh sebelum stockpile ini berdiri, rumah dan tanahnya pernah ditawar oleh perusahaan untuk bisa dibebaskan. Namun, dirinya menolak dan memilih untuk bertahan. Lantaran harga yang ditetapkan perusahaan terlalu kecil.

Kini, Darman hanya bisa pasrah. Mencoba berdamai dan hidup berdampingan dengan debu batu bara yang terus mengepung rumahnya. Sembari berharap, suatu hari ada relokasi yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan.

“Satu-satunya solusi ya relokasi. Tapi, tetap harus sesuai juga hitung-hitungannya. Lokasinya. Jangan sampai kami di relokasi ke tempat yang lebih buruk dari ini (Loktunggul),” tegasnya.

Derita juga dirasakan oleh Hasnayani. Warga RT 14 Loktunggul ini harus mengelus dada karena air sumur di depan rumahnya ikut tercemar. Padahal, air sumur itu sebelumnya digunakan dirinya untuk memasak hingga mencuci.

“Dulu jernih sekali. Apalagi kalau musim hujan, diendapkan sebentar bisa langsung dimasak,” jelasnya bersemangat saat ditemui, Rabu, 5 April 2023.

Perempuan 31 tahun ini mengaku, sejak PLTU Teluk Kadere beroperasi pada akhir 2019 lalu, air sumur perlahan berubah menjadi keruh, berlumut dan berminyak.

“Sekarang hanya bisa buat mencuci pakaian, itu pun harus dibilas lagi dengan air PDAM. Kalau tidak, bisa gatal,” jelasnya.

Mirisnya, sumur di depan rumah Hasnayani bukan satu-satunya yang tercemar. Tak jauh dari situ, terdapat sumur yang sudah tidak bisa digunakan lagi. Juga diduga karena tercemar limbah PLTU. Hal itu, juga menjadi temuan DPRD Kota Bontang saat meninjau lokasi Januari 2020 silam.

Tak hanya sumur yang tercemar, ibu empat anak ini juga mengaku kerap harus menghirup debu batu bara yang beterbangan hingga ke rumahnya. Padahal, jarak rumahnya dengan lokasi PLTU dan stockpile batu bara kurang lebih mencapai 200 meter. Namun, berbeda dengan warga lainnya yang langsung menutup semua pintu dan jendela saat debu batu bara beterbangan, Hasnayani justru tetap membuka pintu rumahnya.

“Kalau ditutup nanti jualan saya enggak laku. (Saya) jadi enggak punya uang buat biaya hidup,” katanya dengan suara parau.

Pembangunan PLTU Teluk Kadere juga berdampak buruk bagi nelayan di pesisir kampung itu. Zainal, Ketua RT 15 Loktunggul menyebut, kondisi lingkungan yang dihasilkan dari aktivitas pembangkit listrik itu kini mempengaruhi mata pencaharian warganya yang notabene banyak bergantung hidup pada perairan Teluk Kadere.

Mereka yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan rumput laut terpaksa harus mencari lokasi baru yang lebih jauh sekitar dua kilometer dari lokasi sebelumnya. Lantaran lokasi tempat mereka membudidayakan rumput laut telah rusak terkena limbah industri. Sementara sebagian lainnya memilih untuk beralih profesi, karena khawatir lokasi baru rumput laut yang lebih jauh dari bibir laut dapat mengancam keselamatan mereka.

“Karena semakin jauh jaraknya gelombangnya semakin kuat, jadi bahaya. Makanya ada yang cari pekerjaan lain. Salah satunya kakak saya. Kini jadi cleaning service di sekolah padahal sebelumnya bisa menghasilkan belasan juta per bulan dari rumput laut,” katanya dengan nada getir.

Lebih jauh dikatakan Zainal, pembuangan limbah air panas ini sangat bertolak belakang dengan klaim PT GPK yang termuat di Andal, jika pembuangan limbah dilakukan jauh di tengah laut dan menggunakan pipanisasi. Karena faktanya, pembuangan limbah dilakukan langsung ke bibir laut hingga menyebabkan terumbu karang rusak dan ikan menjauh.

“Sebelumnya lokasi budidaya rumput laut warga itu berjarak 100 meter dari pinggir laut, dan sebelum lokasi rumput laut itu di kanan kiri ada belat. Tapi, sekarang semuanya nggak ada. Belat nggak ada, rumput laut juga nggak ada,” katanya.

Protes keras ke pihak PT GPK terhadap situasi ini pun, diakui Zainal sudah pernah dilakukan. Namun, pihak perusahaan menganggap tidak ada yang salah dengan cara mereka membuang limbah. Pihak perusahaan mengklaim sudah membuang limbah sesuai dengan prosedur yang berlaku.

“Menurut mereka ini (membuang limbah langsung ke laut) sudah aman,” katanya tertawa ringan.

Zainal menyebut, PLTU kerap membuang limbah pada malam hingga subuh hari. Limbah yang dibuang langsung ke laut menimbulkan perubahan suhu. Air laut menjadi sedikit panas. Bahkan limbah yang dibuang juga berbusa.

“Sekarang sudah tidak boleh ambil gambar karena dipantau dari CCTv,” jelas Zainal sembari menunjukkan foto-foto kondisi air laut yang diduga tercemar oleh limbah PLTU Teluk Kadere.

Berdasarkan penelusuran tim KJI, PT GPK meraih peringkat merah dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada Properda Kaltim 2021-2022. Properda merupakan program penilaian peringkat kinerja perusahaan daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur.
Indikator merah itu berdasarkan hasil temuan pengelolaan limbah yang tidak sesuai dengan ketentuan. Mulai dari dokumen izin perusahaan, dokumen lingkungan, pemantauan kualitas udaranya, dan pengelolaan limbah B3.

PT GPK sendiri mendapat peringkat merah lantaran pernah mendapatkan sanksi dari DLH Provinsi Kalimantan Timur akibat mengeluarkan limbah cair langsung ke laut yang belum berizin.

Peneliti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Teresia Jari mengakui banyak dampak negatif yang diterima oleh warga Loktunggul setelah adanya PLTU Teluk Kadere. Tidak hanya dari sisi kesehatan saja, namun juga dari sisi lingkungan.

Teresia mengungkapkan, dari hasil penelitian Jatam Kaltim beberapa waktu lalu, warga sudah tidak bisa melakukan budidaya rumput laut. Lantaran limbah air panas yang dibuang langsung ke laut membuat rumput laut mati. Pun dengan budidaya ikan laut.

“Dulu sebelum adanya PLTU, ibu-ibu yang bermukim di sana kalau pagi cari tambahan penghasilannya dengan mencari kerang di pinggiran laut. Sekarang setelah ada PLTU, kerang itu sudah sulit sekali ditemukan di sana, bahkan terancam punah,” jelasnya saat dikonfirmasi KJI pada Sabtu, 12 Agustus 2023.

Teresia menjelaskan, jauh sebelum pembangkit listrik itu berdiri, warga sekitar sudah lebih dulu menolak proyek dengan nilai investasi mencapai Rp1 triliun tersebut.

Penolakan itu disebutnya sudah ditunjukkan warga sejak masa pembahasan Andal PLTU. Jatam mengaku heran lantaran dengan tedeng aling-aling dokumen tersebut justru disahkan. Seolah ingin melegitimasi jika warga sekitar setuju dengan pembangunan pabrik tersebut.
“Andal yang disahkan seolah-olah disetujui oleh masyarakat. Entah masyarakat mana yang dimaksud. Karena masyarakat yang kami temui pada menolak hal itu (pembangunan PLTU Teluk Kadere),” sebutnya.

Klaim Penuhi Syarat

Keberadaan PLTU Teluk Kadere yang dinilai warga hanya mendatangkan kerugian nyatanya dianggap berbeda oleh Pemerintah Kota Bontang. Wali Kota Bontang Basri Rase mengklaim, keberadaan PLTU justru memberikan dampak positif bagi Kota Bontang. Mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga bangkitnya ekonomi rakyat yang bermukim di sekitar PLTU.

“Pasti ada (dampak positifnya), tidak mungkin tidak ada,” tegasnya saat dikonfirmasi, Selasa, 8 Agustus 2023.

Basri, juga turut menepis anggapan-anggapan negatif lainnya terkait keberadaan PLTU. Seperti polusi udara hingga perusakan lingkungan, yang disebutnya hanya disampaikan oleh segelintir orang.

Menurutnya, tudingan perusakan lingkungan yang diduga terjadi akibat aktivitas PLTU disampaikan serampangan tanpa berdasarkan hasil kajian.

“Boleh saja (warga) mengeluh soal (kerusakan) lingkungan, tapi kan yang harusnya menilai (rusak tidaknya lingkungan) orang yang ahli di bidangnya, bukan orang lain. Misal DLH. Kan mereka (GPK) juga punya laporannya per triwulan terkait polusi, emisi dan semacamnya,” jelasnya.

Meski mengklaim perusahaan rutin melakukan pengecekan kualitas udara dan air di sekitar wilayah PLTU beroperasi, namun Basri tidak memaparkan secara rinci hasil dari berbagai pengecekan tersebut. Kendati begitu, Basri tetap menegaskan bahwa pendirian pabrik PLTU di kawasan Bontang Lestari disetujui oleh pemerintah dengan berbagai persyaratan kuat yang telah dipenuhi oleh pihak perusahaan. Termasuk soal syarat lingkungan.
Disinggung mengenai rencana relokasi warga Loktunggul, mantan anggota DPRD Bontang ini mengaku belum memikirkan hal tersebut. Pemerintah berdalih tidak bisa melakukan relokasi seenaknya. Lantaran setiap warga memiliki hak untuk bermukim di sana. Basri juga mengaku tidak ingin gegabah, karena belum tentu semua warga setuju dengan rencana tersebut. Selain itu, belum adanya tempat relokasi juga menjadi salah satu alasan pemerintah belum melirik opsi tersebut.

“Nggak segampang itu mau relokasi. Mau cari lahan di mana? Lagian siapa tahu ada yang keberatan nggak mau direlokasi karena mereka sudah nyaman (tinggal) di situ,” ujarnya.

Ditanya soal dugaan penghapusan permukiman warga di sekitar pabrik dari peta yang termuat di Andal PLTU Teluk Kadere, Basri enggan berkomentar lebih jauh dan meminta tim KJI untuk mendatangi OPD terkait. “Tanya ke DLH. Saya tidak paham dan tidak tahu persis soal teknis begitu,” katanya.

Rabu, 9 Agustus 2023 tim KJI menyambangi kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bontang. Tim KJI diterima oleh staf di Bidang Perencanaan Lingkungan dan

Keanekaragaman Hayati. Melalui dirinya, kami memperoleh informasi jika kepala bidang tidak bersedia untuk dimintai keterangan dan mengarahkan kami untuk menghubungi Kepala DLH Kota Bontang, Heru Triatmojo.
“Tapi, Bapak (Heru) tidak ada, sedang rapat di luar,” ujarnya.

Di hari yang sama hingga tiga hari setelahnya, tim KJI mencoba menghubungi Heru melalui sambungan telepon, namun meski dihubungi berkali-kali Heru tidak memberikan respons. Pun daftar pertanyaan yang telah kami kirimkan lewat WhatsApp pribadinya tidak mendapatkan balasan.

Senin, 14 Agustus 2023 tim KJI kembali mencoba menghubungi Heru, namun tetap tidak mendapatkan respons. Hingga berita ini terbit, Heru Triatmojo belum dapat menjawab pertanyaan tim KJI.

Jawaban Perusahaan

Selasa 15 Agustus 2023, PT Graha Power Kaltim (GPK) memberikan jawaban melalui pernyataan tertulis yang dikirimkan oleh staf Humas GPK ke KJI. Namun, staf tersebut tidak bersedia nama dan jabatannya dimuat dalam tulisan.

Melalui pernyataan tertulis itu, PT Graha Power Kaltim (GPK) membantah telah menghapus permukiman warga Loktunggul di dokumen Andal PLTU Teluk Kadere. GPK mengklaim, penyusunan peta disesuaikan dengan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dan juga peta citra yang di delineasi sesuai dengan kondisi permukiman eksisting di lapangan.

Lewat pernyataan itu juga, GPK membantah tudingan yang dilayangkan oleh warga sekitar. Dalam pernyataannya, GPK mengklaim rutin melakukan pengujian kualitas udara dan air laut enam bulan sekali. Sedangkan untuk pengujian mutu limbah dilakukan sebulan sekali.

“Hasilnya masih berada di bawah baku mutu lingkungan,” klaim GPK.

GPK berdalih, aktivitas PLTU Teluk Kadere tidak menimbulkan dampak polusi udara dan pencemaran air. Lantaran pengelolaan lingkungan telah dilakukan secara maksimal. Didukung dengan pemantauan terkait uji air dan udara yang rutin dilakukan perusahaan. Perizinan air limbah pun, disebut telah dipenuhi dan telah dimiliki sejak awal operasional PLTU.

“Banyak upaya pengelolaan lingkungan yang telah kami lakukan, seperti pemasangan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), cerobong (ESP/electrostatic precipitator), membuat sprinkle di kawasan coal yard dan penghijauan di sekitar lokasi PLTU,” jelas GPK.

Soal kontribusi perusahaan kepada warga sekitar PLTU, GPK menyebut pihaknya turut membantu suplai air bersih dan listrik untuk bisa masuk di kawasan RT 12-15 Loktunggul. Bantuan-bantuan sosial lainnya juga telah dilakukan, seperti pemberian sembako dan kegiatan umum masyarakat, membantu pengembangan kawasan dengan pembangunan jalan serta fasilitas ibadah di sekitar pabrik. Selain itu, penyerapan tenaga kerja juga disebut GPK telah dilakukan sesuai dengan kebutuhan skill dengan memprioritaskan tenaga kerja lokal di daerah sekitar.

Pemkot Bontang Didesak Bertindak
Pakar hukum lingkungan Agustina Wati mendesak Pemerintah Kota Bontang turun tangan membantu memperjuangkan hak masyarakat Loktunggul, khususnya RT 15 untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Menurutnya, warga yang bermukim di sekitar PLTU Teluk Kadere berhak mendapatkan haknya untuk tidak menjadi korban pencemaran udara dan pencemaran air laut, yang diduga diakibatkan dari aktivitas pabrik pembangkit listrik tersebut. Terlebih, dampak negatif tersebut dikhawatirkan dapat meluas ke wilayah lain.

“Itulah kenapa PLTU sebaiknya tidak dibangun berdekatan dengan masyarakat, agar dapat meminimalisir beberapa kemungkinan seperti yang saat ini terjadi di Kota Bontang,” terangnya saat dikonfirmasi tim KJI, Sabtu, 12 Agustus 2023.

Agustina juga turut mempertanyakan bagaimana perizinan pembangunan PLTU Teluk Kadere tersebut bisa keluar, menyusul dengan kondisi dampak lingkungan yang terjadi setelah PLTU beroperasi.

Menurutnya, dampak negatif dari aktivitas perusahaan tidak akan menimpa masyarakat seandainya penyusunan dokumen Andal dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana proyek tersebut.

“Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH dan UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dokumen Amdal wajib disusun oleh pemrakarsa dengan mengikutsertakan masyarakat,” katanya.

Menurut dosen Hukum Administrasi Lingkungan di Universitas Mulawarman ini, dengan kondisi yang terjadi di lapangan, sudah seharusnya Pemerintah Kota Bontang melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melakukan identifikasi terhadap dugaan pelanggaran dan berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan PLTU tersebut. Jika terbukti adanya pelanggaran dan terjadinya kerusakan lingkungan, maka Pemerintah Kota Bontang dapat menerapkan sanksi administratif terhadap PLTU Teluk Kadere sesuai Pasal 82 C Ayat (1) UU Cipta Kerja.

“Sanksinya berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan perizinan berusaha, sampai pencabutan perizinan berusaha,” jelasnya.

Dirinya menyebut, sanksi administratif ini perlu dimaksimalkan oleh Pemerintah Kota Bontang. Hal ini sebagai langkah awal penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, sehingga peran Pemerintah Kota Bontang selaku pengawas lingkungan hidup, yang juga memfasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dan penegakan hukum dapat lebih maksimal.

“Selain memaksimalkan sanksi administratif, pertimbangkan juga Asas Ultimum Remedium sebagai upaya terakhir jika penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil,” pungkasnya. (*)

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Bontang yang terdiri dari longtime.id, Aksarakaltim.id, Kitamudamedia.com, independen.id, dan bontangpost.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button