Sekolah sebagai Ruang Pemulihan: Seruan Hamas di Tengah Krisis Remaja

Longtime.id – Di tengah meningkatnya kenakalan remaja dan krisis identitas generasi muda, Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menyerukan pentingnya mengembalikan fungsi sekolah sebagai ruang pemulihan sosial dan penguatan karakter.
Menurutnya, tekanan sosial yang tinggi, minimnya peran keluarga, dan derasnya arus informasi menciptakan kombinasi berbahaya yang membuat banyak remaja kehilangan arah dan pegangan hidup.
“Remaja kita sedang menghadapi krisis, bukan hanya soal kenakalan, tapi soal siapa mereka dan di mana tempat mereka dalam masyarakat. Sekolah harus hadir sebagai ruang pemulihan, bukan sekadar tempat belajar akademik,” ucap Hamas.
Ia menyoroti kenyataan bahwa banyak siswa mengalami tekanan emosional, perundungan, dan rasa terasing, tanpa ruang aman untuk mengekspresikan diri. Jika sekolah hanya fokus pada nilai akademik dan kedisiplinan administratif, tanpa ruang empati, maka justru akan menjauhkan siswa dari proses pendidikan itu sendiri.
“Kita terlalu sering bicara soal sanksi, padahal banyak dari mereka hanya butuh didengarkan. Pendidikan itu soal merangkul, bukan mengadili,” tegasnya.
Hamas mendorong Dinas Pendidikan dan pihak sekolah untuk memperkuat layanan konseling dan membangun komunitas belajar yang mendukung kesehatan emosional siswa. Ia menilai pendekatan restoratif jauh lebih relevan dibanding sistem hukuman yang sudah usang.
Ia juga menyoroti rusaknya komunikasi antara anak dan orang tua sebagai salah satu akar persoalan. Maka, program pendidikan karakter di sekolah perlu diperluas menjadi gerakan pemberdayaan keluarga yang melibatkan orang tua secara aktif dalam proses pendampingan siswa.
“Banyak anak kehilangan figur panutan. Kalau sekolah dan keluarga tidak saling dukung, maka anak akan mencari jawaban sendiri di tempat yang salah,” tuturnya.
Lebih jauh, Hamas juga menekankan perlunya evaluasi serius terhadap sistem pendidikan yang kaku dan terlalu berorientasi angka. Kurikulum perlu lebih adaptif terhadap perubahan sosial dan kebutuhan psikologis remaja masa kini.
“Kita harus mengubah cara pandang. Pendidikan bukan hanya alat untuk kerja, tapi ruang untuk bertumbuh. Sekolah bukan pabrik nilai, tapi rumah bagi karakter,” sambungnya.
Baginya, menciptakan sekolah yang aman, inklusif, dan penuh empati adalah tanggung jawab bersama bukan hanya guru, tetapi seluruh ekosistem pendidikan dan masyarakat.
“Kalau kita ingin mencegah kekerasan dan kenakalan, kita harus lebih dulu membangun ikatan. Bukan sekadar kontrol, tapi kepercayaan,” tutupnya. (Adv/Sb/DPRDKaltim)



