Ketua Komisi I DPRD Samarinda Kecam Praktik Doxing: Ancaman Nyata Terhadap Kebebasan Berpendapat

SAMARINDA – Praktik doxing kembali meresahkan aktivis dan konten kreator di Samarinda. Kasus terbaru menimpa Achmad Ridwan, pendiri platform media lokal Selasar.co, yang data KTP-nya disebarluaskan oleh akun anonim setelah ia mengkritisi perundungan digital terhadap kreator kritis seperti Kingtae.life.
Samri Shaputra, Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, merespons kasus ini dengan keprihatinan mendalam. Dalam sesi wawancara Senin (19/5/2025), ia menilai insiden tersebut sebagai bentuk pembungkaman sistematis terhadap kebebasan berekspresi.
“Penyebaran data pribadi ini bukan hanya melanggar privasi, tapi juga bentuk intimidasi yang bisa membuat masyarakat takut menyampaikan kritik,” ujarnya dengan nada serius di Gedung DPRD Samarinda.
Analisis Samri menunjukkan adanya pola yang mengkhawatirkan dalam iklim demokrasi lokal, di mana setiap kritik terhadap pemerintah direspons dengan serangan digital yang terorganisir.
“Begitu ada yang mengkritik, muncul narasi negatif, bahkan doxing. Ini bukan hal sepele, ini bahaya untuk demokrasi kita,” tegasnya.
Sebagai anggota legislatif, Samri juga meluruskan fungsi konstitusional DPRD yang kerap disalahpahami publik.
“Ketika kami diam, masyarakat bilang DPRD tidak bekerja. Tapi ketika kami bicara dan memberi masukan, malah dianggap menyerang. Harusnya kritik itu dilihat sebagai ruang perbaikan, bukan dijadikan alasan untuk menyerang balik,” tambahnya.
Frustrasi Samri tergambar jelas ketika ia menyinggung respons pemerintah daerah terhadap masukan-masukan konstruktif dari DPRD.
“Perbedaan pandangan itu wajar dalam demokrasi. Tapi jangan sampai itu jadi alasan untuk memusuhi. Saya sendiri mungkin tinggal tunggu giliran saja, karena sejauh ini data pribadi saya belum disebar,” katanya sambil tersenyum kecut.
Sebagai langkah konkret, Samri mendesak aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang menyuarakan pendapat secara konstitusional.
“Kalau dibiarkan, ini akan menciptakan budaya takut. Ruang publik jadi tidak sehat. Demokrasi kita bisa mundur,” pungkasnya dengan penuh keprihatinan. (ADV/DPRDSAMARINDA/GB)